Monday, June 21, 2010

Tipe yang manakah Anda?

Hampir di setiap sesi training saya, saya menjelaskan tentang 4 tipe peserta training. Mungkin Anda sudah pernah mendengarnya, tapi tak apalah kalau saya ingatkan lagi di sini.


Tipe pertama adalah pembelajar (learner).

Seorang pembelajar akan mencari tahu terlebih dahulu apa tujuan dari training tersebut, apa yang hendak dicapai dengan mengikuti training tersebut. Bahkan seorang pembelajar memiliki tujuan bagi dirinya sendiri, karena seorang pembelajar tidak akan membiarkan dirinya tak tentu arah.


Tidak hanya itu, seorang pembelajar juga akan berusaha memperoleh sesuatu dari yang telah dipelajarinya. Bagi pembelajar, setiap sesi adalah proses mengubah pola pikir, mengubah perilaku, ke arah yang lebih baik.


Seorang pembelajar, akan melihat setiap sesi sebagai peluang baru untuk belajar, setiap orang di sekelilingnya adalah trainer yang dapat memberikan banyak pelajaran yang mungkin tak tersampaikan dalam kelas training. Dan seorang pembelajar akan melihat setiap pertanyaan, quiz dan test dalam sesi training adalah kesempatan untuk mengasah diri menjadi lebih baik.



Tipe kedua adalah turis (tourist).

Sebagaimana layaknya turis pada umumnya, maka tujuan training bukanlah hal utama bagi seorang bertipe turis, yang lebih penting bagi mereka adalah, apakah tempat training itu menyenangkan atau tidak, apakah perjalanan menuju ke tempat training memberikan pengalaman baru atau tidak. Training bagi mereka identik dengan rekreasi, refreshment/ penyegaran.

Seorang bertipe turis akan lebih mengingat bagaimana sebuah training berlangsung daripada isi training itu sendiri. Bila suasana training membuat hatinya senang, maka dia akan senang mengikutinya. Sebaliknya bila suasana training membuatnya tidak nyaman, maka dia tidak akan nyaman mengikuti training tersebut.

Tidak terlalu penting pula bagi tipe turis untuk mengetahui siapa ‘guide’ yang akan membawanya ‘tour’ dalam training.

Tidak semua turis menyukai tantangan. Demikian pula peserta dengan tipe ini. Beberapa diantaranya akan melihat pertanyaan, quiz ataupun test sebagai sesuatu yang mengganggu kesenangan dan menjadi beban, karena memaksa mereka meninggalkan sejenak kegembiraan yang mereka nikmati selama training.


Tipe ketiga adalah sandera (hostage).

Jelas tergambar dari istilahnya, seorang sandera sama sekali tidak mengharapkan hadir dalam sebuah training. Baginya training adalah sebuah sesi yang membuatnya sangat tidak nyaman. Jangankan mencari tahu tujuan training, mencari tahu mengapa harus pergi training saja terkadang tidak dia lakukan.

Seorang sandera tidak akan peduli bagaimana pun lingkungan membawa dia, karena pikirannya hanya terfokus pada dirinya sendiri, pada bagaimana dia mencoba menenangkan dan menyamankan dirinya. Bagi seorang bertipe sandera, setiap orang yang ada di sekelilingnya adalah ancaman, terlebih mereka yang mencoba menyampaikan hal-hal yang tidak atau belum dia ketahui. Semakin banyak informasi yang dia terima dari orang-orang di sekitarnya, semakin dia merasa terancam.

Tipe sandera cenderung tidak memperhatikan sesi training yang berlangsung. Baginya tidak ada bedanya apakah dia dapat memetik pelajaran atau tidak dari training yang berlangsung. Baginya pula, setiap pertanyaan, quiz ataupun tes adalah hukuman yang harus dia terima sebagai konsekuensi mengikuti training. Secara ekstrim, seorang sandera akan selalu berharap training segera berakhir.


Tipe keempat adalah provokator (provocator).

Rasanya tipe ini hanya memerlukan penjelasan singkat. Tujuan training, tujuan mengikutinya dan pelajaran apa yang dapat diperoleh adalah hal yang tidak sepenuhnya dipahami bagi seorang provokator.


Mustahil memang menemukan peserta dengan tipe yang seragam dalam suatu kelas training. Justru keberagaman tipe peserta itulah yang membuat training menjadi lebih hidup, lebih dinamis, lebih menarik dan lebih menantang. Seperti layaknya sebuah kehidupan, akan lebih berwarna kalau orang-orang di dalamnya memiliki karakter yang berbeda-beda.

Dan setiap tipe pasti memiliki sisi positif dan negatif. Bisa dikatakan bahwa fasilitator ikut berperan dalam bagaimana membawa sisi negatif peserta ke arah yang positi, atau lebih mengeksplor sisi positif setiap tipe. Namun, yang lebih berperan lagi sebenarnya adalah peserta itu sendiri. Semua kembali kepada diri peserta masing-masing. Apakah mereka memiliki tujuan bagi dirinya dalam mengikuti training, apakah mereka mau menyesuaikan diri dengan peserta-peserta lain dan lingkungan barunya, apakah mereka akan mengambil pelajaran dari setiap sesi, quiz atau test yang diberikan; atau tidak.


Nah, jika kehidupan ini adalah sebuah training, dan setiap peristiwa di dalamnya adalah sesi-sesi dalam training, serta setiap musibah atau cobaan adalah quiz atau test, maka termasuk tipe peserta yang manakah Anda?


Salam,

Oktira Kirana

Tuesday, June 15, 2010

I WANT TO BREAK FREE

I WANT TO BREAK FREE

(I want to break free, I want to break free)
I want to break free from your lies
You're so self satisfied I don't need you
I've want to break free
God knows, God knows I want to break free

Siapa yang tak kenal lagu ngetop keluaran kelompok music Queen ini?
Versi yang sering saya dengar dari lagu di atas adalah versi Queen (aslinya) dan versi kelompok band nasional, Dewa. Iramanya sama, ‘beat’, relatif kencang, cepat…… saya kurang tahu istilah dalam bahasa musiknya.
Bagi saya, saat mendengarkan lagu ini, berasa sekali semangat ‘kebebasan’ yang diinginkan. Menggelora, lantang, penuh semangat.
Tapi kali ini beda. Saya mendengar lagu ini di sebuah mall saat berjalan-jalan dengan suami, dengan irama yang berbeda, lebih lembut dan ‘slow’. Tak urung lagu yang irama aslinya cukup saya kenal ini mengundang komentar saya, yang saya tujukan kepada suami, “Kok lagunya jadi gitu ya? Padahal kan ‘I want to break free’.”

Yang saya ajak bicara tersenyum lalu menyahut pelan, “ingin ‘free’ kan tidak berarti harus teriak-teriak.”

Hmmm…bener juga ya…
Kebebasan kan tidak identik dengan suara keras, tidak identik dengan keramaian, tidak identik dengan teriaka, dan yang lebih penting, tidak identik dengan huru-hara.

Bukan apa-apa, setiap kali menonton berita di tv tentang demo, ternyata yang mereka (pendemo) inginkan adalah kebebasan. Kebebasan untuk memperoleh informasi-lah, kebebasan untuk berekspresi-lah, kebebasan untuk berbicara-lah, kebebasan untuk menggunakan hak-lah….dan kebebasan-kebebasan yang lain.
Tetapi mengapa harus dengan demonstrasi? Mengapa harus dengan teriak-teriak? Mengapa juga harus dengan merusak? (mudah-mudahn bukan karena mereka terinspirasi dengan lagu ini ya).
Apakah bicara kebebasan berarti harus dengan suara lantang? Tidak juga, coba simak satu lagu lain dari Indra Lesmana, isinya kurang lebih sama, tentang keinginan bebas, tetapi disampaikan dengan lebih lembut dan orang lain tetap memahami maksudnya …

Dan kuceritakan pada dunia
Tentang harapan dan angan-anganku
Aku ingin dapat bebas lepas
Aku ingin senantiasa merasa bahagia
Aku ingin dapat terbang jauh
Bila tiada yang peduli …..

Menurut saya, kebebasan itu, kita sendiri yang menentukan. Apakah kita merasa terbelenggu apakah kita merasa bebas, kita lah yang menentukan.
Tidak perlu teriak-teriak untuk meminta kebebasan, karena kebebasan itu kita yang punya. Orang lain mungkin bisa membelenggu raga kita, mengurung diri kita, tetapi mereka tidak dapat membatasi kebebasan berpikir kita, mereka tidak dapat mencegah ide-ide yang menggelembung di otak kita. Banyak cerita sejarah yang membuktikan fakta ini. Fakta bagaimana terkurung raga tidak berarti terkurung jiwa apalagi pikiran.

Masih ingat bagaimana tokoh-tokoh ternama membebaskan pikiran dan ide mereka pada saat fisik mereka terpenjara?

Ya! Seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA -singkatan dari namanya- seorang sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik, pernah dipenjarakan awal tahun 1960an, tetapi tidak berhenti menulis dan berkarya. Bahkan selama di penjara beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan umat sampai saat ini. Pemenjaraan tubuhnya dalam sangkar besi tidak memenjarakan semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya dan terus berkarya. Beliau tetap bebas mencurahkan pikirannya.

Dan nama lain adalah Viktor Emil Frankl, seorang Ph.D., yang juga seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban Holocaust*) yang selamat, menulis buku Man’s Search for Meaning, sebuah buku yang menceritakan tentang bagaimana menggunakan 'spiritual freedom' untuk mengubah ‘attitude’ dari tidak berarti menjadi memiliki arti. Dengan kebebasan berpikirnya Frankl mentransformasikan tragedi dirinya sebagai sebuah kemenangan, kesuksesan. Dan inilah yang membuat Frankl bertahan hidup meskipun sebenarnya dia juga berada di antrian ‘green mile’.

Jadi, cukuplah untuk tidak lagi menuntut kebebasan, karena pada dasarnya kita sudah bebas.

[tapi saya tetap menyukai lagu Queen ini sebagai sebuah lagu lho …]


*)Holocaust (dari bahasa Yunani: holokauston yang berarti "persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya") adalah genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap berbagai kelompok etnis, keagamaan, bangsa, dan sekuler pada masa Perang Dunia II.

Salam,
Ira

Monday, June 14, 2010

SABAR, IKHLAS dan BERSYUKUR .....


”...syukuri apa yang ada...hidup adalah anugrah...terus jalani hidup ini melakukan yang terbaik...” (d’massive)

Sabar : sanggup menetralkan suasana hati saat merasa ingin marah.
Ikhlas : mengeluh lebih sedikit, berdoa dan berbuat lebih banyak.
Bersyukur : berterima kasih atas setiap kondisi yang kita terima dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Itu definisi versi saya.

Tadinya saya pikir saya bisa menuliskan dan membahas tiga hal tersebut satu persatu secara terpisah. Namun ternyata, setiap kali saya mencari makna dibalik setiap kata tersebut, maka ketiganya akan saling berhubungan.

Sabar, ditilik dari segi istilah, didefinisikan sebagai tindakan menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)

Ketidaksabaran adalah penyakit hati, oleh karenanya hanya orang-orang yang kuat hatinyalah yang mampu bertindak sabar. Orang-orang yang sanggup memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif. Yaitu, orang-orang bila mendapat kebahagiaan maka dia bersyukur dan bila tertimpa musibah dia bersabar, karena dia meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi padanya adalah hal terbaik bagi dirinya.

Pernahkah Anda mendengar pernyataan,
“Sudah habis kesabaranku, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat, aku pasrah.”

Menurut saya, sabar itu tidak ada batasnya. Orang sabar tidak akan pernah kehabisan stok kesabarannya. Dia akan terus ada dan mengalir sejalan dengan peristiwa yang kita alami, bila memang kita adalah orang-orang yang kuat hati tadi.

Kesabaran bukan berarti ketidakmampuan bukan pula suatu kelemahan.
Sabar bukan berarti ‘nrimo’, bukan berarti menerima suatu kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja tanpa berusaha sedikitpun. Sabar bukanlah pula sesuatu yang pasif, tetapi sabar adalah tindakan aktif dalam menyeimbangkan suatu kondisi. Sabar adalah berusaha mengubah suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik.

Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang sabar?”
Bila jawabannya adalah belum, dan kita ingin menuju ke sana, mari berlatih, dengan cara :
1. Ikhlas.
Mengikhlaskan niat bahwa segala sesuatu adalah karena-Nya. Dan sebagaimana didefinisikan di atas, bahwa sabar salah satunya adalah menahan lisan dari keluh kesah, maka dengan ikhlas, dengan tidak berkeluh kesah, maka kesabaran itu lambat laun akan muncul.
2. Memperbanyak doa.
Doa adalah obat penenang hati, dengan berdoa, hati kita akan mendingin dan tidak mudah terbakar amarah. Dengan berdoa pula, kita akan semakin yakin bahwa Tuhan maha mengetahui yang terbaik untuk kita.
3. Bersyukur.
Dengan bersyukur kita akan dapat lebih menerima apa yang kita peroleh dan apa yang kita miliki. Dengan demikian kita akan lebih bersabar untuk tidak mengeluh atas apa yang tidak kita miliki.

(note : Anda punya cara lain dalam melatih kesabaran? lakukanlah, barangkali cara Anda itulah yang lebih tepat bagi Anda dan berbagilah, barangkali cara Anda bermanfaat pula bagi orang lain)


Salam,
Ira

Wednesday, June 9, 2010

DON’T TOUCH THESE MESS, I KNOW WHERE EVERYTHING IS …..

DON’T TOUCH THESE MESS, I KNOW WHERE EVERYTHING IS …..

Kedengarannya seperti ancaman, tetapi begitulah tertulisnya.

Tulisan tersebut saya baca di meja dosen saya sekitar 16 tahun yang lalu, dan saat ini tulisan itu pun terpampang di meja (kerja) saya.
Sama sekali bukan bermaksud mengancam, tetapi saya punya aturan tersendiri dalam menetapkan ‘organisasi’ meja (kerja) saya. Saya akui bahwa saya termasuk orang yang memiliki attention to detail cukup tinggi. Termasuk orang yang relatif memiliki banyak aturan, banyak tatanan dan ingin menjaga aturan dan tatanan tersebut sesuai porsinya, walaupun seringkali tidak mutlak terjadi demikian.

Saat pertama kali membaca tulisan tersebut di meja dosen saya, saya pun sempat berpikir seperti yang Anda pikirkan, “Sombong sekali orang ini, kayak inget aja barang-barangnya yang berantakan ini.”
Tapi, itulah istimewanya. Saya percaya, karena itu didukung dengan bukti. Dan saya adalah saksinya.
Sebagaimana mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, yang juga seringkali digambarkan di film-film lokal, pada hari yang telah ditetapkan, saya pun duduk ‘manis’ menunggu dosen saya untuk berkonsultasi tentang tugas akhir. Saya datang lebih pagi, dipersilakan duduk oleh petugas yang ada, di kursi di depan meja beliau untuk menunggu, karena beliau belum datang.

Nah, saat itulah saya baca tulisan “Don’t touch these mess, I know where everything is”.
Sempat saya berpikir seperti yang saya sampaikan di atas tadi, tetapi kemudian saya tersenyum, sambil tetap berpikir dalam hati, “masa sih, beliau ingat bener letak barang-barang yang ada di mejanya, banyak begini, berantakan pula.”

Kurang lebih setelah hampir satu jam menunggu, beliau muncul dengan gaya khas beliau (agak cowboy). Setelah sekilas ‘say hello’ beliau tidak langsung mengajak saya ngobrol tetapi langsung melihat-lihat mejanya, dan memanggil petugas kebersihan yang tadi mempersilakan saya duduk untuk menunggu. Bukan cara memanggilnya yang membuat saya melongo, tetapi pertanyaan yang dilontarkan pada si Petugas kebersihan itulah yang membuat saya melongo, karena beliau menanyakan,”Pak, ballpoint biru yang nggak ada tutupnya, yang ada di samping telepon, Bapak pindahin kemana ya?”

Belum selesai melongo saya, karena saya pikir beliau hanya lupa, eh, pak Petugas pun menjawab, “Saya masukkan ke dalam tempat pensil di meja Bapak.”
Bukan berterima kasih, beliau malah berujar dengan sedikit nada mengingatkan, “Saya kan sudah bilang, meja saya jangan dikutak-kutik, jangan dipindah-pindahkan barang-barangnya, Saya kan sudah tulis di situ, ‘Don’t touch these mess, I know where everything is’, Saya tahu kalau meja saya isinya berubah atau berpindah.”

Pak Petugas kebersihan kembali menjawab dengan lugu, “Maaf Pak, tapi saya nggak ngerti arti tulisan Bapak itu.”

Gubbraaakk!!

Kira-kira itulah yang terjadi dengan saya mendengar jawaban pak Petugas kebersihan tadi.

Pelajaran yang saya tangkap kemudian adalah :

1. Bila Anda bermaksud menyampaikan pesan, sesuaikan dengan lingkungan Anda. Bahasa tulisan bisa memiliki makna yang berbeda saat dibaca oleh orang yang berbeda, dengan cara pandang yang berbeda yang pada akhirnya menimbulkan pemahaman yang berbeda, (dalam kejadian di atas mungkin memberikan kesan kurang bersahabat, mengancam, tidak sensitif, dll.).
2. Bila Anda mengandalkan komunikasi tertulis untuk berkomunikasi dengan orang lain, pastikan sasaran ‘audience’ pesan Anda. Menggunakan bahasa yang lebih umum (universal) dan mudah dimengerti akan memudahkan pesan Anda dipahami oleh pihak yang Anda maksud.

Kembali, komunikasi selalu melibatkan 3 unsur dasar, pemberi informasi, penerima informasi dan media. Di setiap ketiganya tidak terlepas dari adanya hambatan. Rasanya tidak mungkin untuk menghilangkan semua hambatan yang ada. Yang dapat kita lakukan adalah meminimalkan hambatan yang terjadi sehingga komunikasi yang kita lakukan menjadi lebih efektif.

Namun tidak dipungkiri bahwa saya, secara pribadi, tetap menggunakan bahasa sebagaimana tertulis di atas, meski saya yakin tidak semua orang memahami maksud saya, tetapi saya cukup memahami ‘audience’ saya yang notabene secara pengetahuan di atas rata-rata. Saya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa, silahkan meminjam barang-barang saya bila diperlukan, asalkan dikembalikan ke tempat semula, sehingga mudah bagi saya untuk mempergunakannya kembali….(jadi panjang kan kalau dituliskan demikian…?? )

Meski seringkali saya temukan pada hari Senin, awal minggu letak telepon tidak seperti pada saat saya tinggalkan di hari Jum’at, saya cukup memahami, bahwa petugas kebersihan sedang melakukan tugasnya membersihkan meja dan telepon pada hari Sabtu, dan saya tidak berhak complain atas hal itu ……. Harusnya berterima kasih malah …..

Begitu teman, sama sekali bukan bermaksud untuk tidak bersahabat… 


Salam,
Ira

Tuesday, June 8, 2010

‘Secret Recipe’


Terinspirasi dari pesan singkat seorang teman, saya mencoba mengurai lebih banyak isi pesan tersebut. Dalam pesan singkatnya teman saya memberikan semacam ‘wise word’ tentang motivasi, dan point saya tertuju pada kalimat “apa rahasia sukses dalam hidup?”



Saya jadi teringat film Kungfu Panda. Terus terang saja, saya berkali-kali nonton film ini baik dari DVD pribadi maupun setiap kali ditayangkan di televisi. Dan saya tidak pernah bosan. Menurut saya film Kungfu Panda sarat pesan dan nasihat. Banyak “insight” di dalamnya yang kalau kita jabarkan satu persatu mungkin tak cukup waktu seharian untuk membahasnya.


Pesan paling menonjol yang saya tangkap dari film ini adalah “resep rahasia” (keberhasilan/ kekuatan).

Ayah Po (si Kungfu Panda) memiliki ‘resep rahasia’ dalam mengolah mie yang menjadi andalannya.

Seorang “Dragon Warrior” dipercaya akan memiliki ilmu yang ‘melimpah’ bila dia memiliki ‘resep rahasia’ yang terdapat di dalam gulungan yang (sekali lagi percaya), hanya boleh dilihat dan dibaca oleh seorang “Dragon Warrior”.


Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah resep rahasia itu ada?

Saya mungkin tidak perlu menjabarkan lebih jauh karena saya yakin Anda dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut.

Terbayang oleh saya raut muka dan ekspresi si Po (si Panda) pada saat dia dinyatakan lulus oleh master Sifu dan diperbolehan untuk membuka gulungan ‘resep rahasia’ tersebut.

Sebelum membuka gulungan tersebut ekspresi mukanya begitu bersemangat, gembira dan menunjukkan keinginan dan keyakinan bahwa dia akan menjadi seorang pendekar hebat dengan tambahan ilmu rahasia dari sang master guru Oagway.

Namun seketika itu juga ekspresinya berubah menjadi tak percaya dengan apa yang dilihatnya karena gulungan tersebut ternyata KOSONG.

Tidak ada tercantum sedikitpun tentang ilmu rahasia di sana. Yang ada hanya lembaran kosong yang memantulkan wajah Po saat dia melihatnya.


Lama Po menyadari hal ini sebagai suatu “ilmu” pamungkas bagi dirinya yang telah dinobatkan sebagai seorang “Dragon Warrior”.

Baru setelah dia mendapatkan jawaban ‘resep rahasia’ versi ayahnya, bahwa ‘resep rahasia’ atau secret recipe itu tidak ada, yang ada hanyalah keyakinan diri bahwa kita bisa, mampu dan menghasilkan yang terbaik seperti yang kita inginkan; Po seakan bercermin dari jawaban ayahnya bahwa itulah makna ‘resep rahasia’ dalam gulungan tersebut.

Saat dia menatap lembaran gulungan tersebut, maka akan nampaklah raut wajahnya sendiri, dan resep rahasia itu ada di sana, di dalam dirinya, di dalam diri kita.


Tidak mudah memang, karena Po tidak hanya harus menaiki sekian anak tangga yang selalu membuatnya ‘ngos-ngos-an’, tetapi dia juga harus rela belajar mati-matian demi belajar kungfu setelah dia ditunjuk sebagai calon ‘Dragon Warrior’. Po bahkan tidak pernah menyerah sekalipun dia banyak menghadapi hambatan.


Bila kita yakin pada diri kita, maka kesuksesan atau apapun yang kita inginkan pasti dapat kita raih. Saat tersulit adalah bagaimana kita meyakinkan diri kita bahwa kita mampu.


Lembaran kertas itu akan tetap kosong, kecuali kita mengisinya dengan keyakinan dan percaya diri, kecuali kita menafsirkannya sebagai kekuatan kita.


Masih banyak ‘insight’ yang lain dalam Kungfu panda…. Lain waktu saya akan uraiakan ...


Salam,

Ira