Thursday, February 25, 2010

Perbedaan adalah Penyeimbang

PERBEDAAN adalah PENYEIMBANG


Dengan tayangan televisi seperti sekarang ini, agak susah bagi orang tua untuk mengontrol anaknya menonton acara televisi, meskipun televisi jaman sekarang sudah dilengkapi dengan “parents guide atau control”. Namun, ternyata bukan alatnya saja yang harus mendukung sistem kontrol tetapi juga pola yang diterapkan oleh orang tua dalam kegiatan menonton televisi tersebut. Karena, kadang-kadang, orang tua pun punya keinginan sendiri yang tidak dapat ditawar. Akhirnya bisa jadi anak-anak kita ikut menikmati tontonan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa. Selama orang tua dengan bijak dapat membawa dan mengarahkan tontonan sebagai suatu pembelajaran sampai dengan batas-batas tertentu, maka hal ini mestinya tidak terlalu merisaukan.

Salah satu yang saya alami adalah saat menonton acara ‘Take him Out’ atau ‘Take me Out’. Dalam acara tersebut, seseorang dapat memilih atau dipilih sebagai pasangan. Sang pemilih biasanya telah melengkapi diri dengan data-data pasangan yang dia harapkan.

Terlepas dari kualitas tayangannya, acara tersebut ternyata memberikan ide positif kepada anak saya. Saya katakan positif karena di usianya yang baru 7 tahun, saya anggap dia sudah mampu menentukan dan menyusun kriteria persyaratan.

Setelah melewati beberapa sesi (dari 7 sesi yang ada), anak saya bertanya kepada saya, mengapa si A (laki-laki) mematikan lampu dan tidak mau dengan si X (perempuan). Saya katakan, karena si A memiliki persyaratan pasangan seperti apa yang dia inginkan. Si A ingin pasangan yang lemah lembut, mandiri, dan bla..bla...bla..... (saya ceritakan sekilas).

Nah, berawal dari sinilah, anak saya mengatakan bahwa dia juga memiliki syarat pasangan yang dia inginkan. Saya pikir hanya main-main dan pembicaraan ringan, saya respon pernyataannya dengan bertanya, “Memang Alif ingin pasangan yang seperti apa?” (saya terbiasa berkomunikasi secara terbuka dengan anak saya, sejak dia kecil).
Dengan polos anak saya menjawab, “Yang namanya berhuruf depan ‘A’,” Saya tersenyum mendengar jawabannya, karena mudah ditebak mengapa, karena namanya juga berawalan ‘A’. Saya pikir dia hanya mencari kesamaan saja. Perbincangan berlanjut, dan dengan bergaya seorang interviewer, saya bertanya apa syarat berikutnya dan mencatat jawabannya. Baru saya mencatat syarat no.1, anak saya memutuskan untuk menulis sendiri persyaratan yang dia tentukan.

Dan hasilnya adalah sebagai berikut, “Syarat jadi pasangan Alif” (benar-benar dia tuliskan sebagai judul) :
1. Namanya berhuruf depan “A”
2. Bulan lahirnya bulan Agustus
3. Suka warna putih
4. Suka makan buah
5. Orangnya smart
6. Rambutnya panjang
7. Harus rajin sholat
8. Orangnya tidak penakut dan pemalu
9. Tidak sombong
10. Pintar masak

Selama proses menyusun, saya dan Ayahnya menanggapi dengan tertawa-tawa saja karena kami menganggap ini adalah sebuah permainan.
Setelah persyaratan tersusun seperti tersebut di atas, rasa ingin tahu membuat saya menanyakan satu persatu lebih jauh alasan dibalik persyaratan-persyaratan tersebut kepada anak saya. Pertama, mengapa namanya harus berawalan huruf “A”, jawabnya tentu mudah ditebak, karena biar sama dengan namanya (Alif, berawalan “A”). Demikian juga dengan syarat kedua, supaya sama dengan bulan lahirnya.
Pertanyaan ketiga, Mengapa harus suka warna putih? “Karena aku suka warna merah, jadi dia (baca : calon pasangan) harus suka warna putih, jadinya merah-putih, serasi.” jawabnya.

Ups!
Saya pikir anak saya hanya akan menyusun daftar hal-hal yang sama dengan dirinya dalam mencari pasangan, ternyata, dia juga memikirkan tentang ‘keserasian’ atau ‘keseimbangan’.
Saya lanjutkan “interogasi” saya dengan syarat-syarat berikutnya.

Dan sampailah saya pada suatu kesimpulan, bahwa dari kesepuluh daftar di atas, ada persyaratan yang merepresentasikan adanya kesamaan (No.1, 2 dan 4), harapan (no. 5, 6, 7, 9, 10) dan perbedaan (no. 3 dan 8).

KESAMAAN, hal yang wajar, karena suatu pasangan atau mungkin suatu tim atau grup, terbentuk berawal dari mengetahui adanya kesamaan di antara mereka. Bahkan kalau ditanya mengapa mereka merasa cocok satu sama lain, maka jawaban klasiknya adalah karena mereka mempunyai kesamaan, entah itu hobi, kebiasaan, kesukaan ataupun ketidaksukaan, jadi kalau ‘ngobrol nyambung’ (bahasa ABG-nya begitu ya?)
Sering kita dengar ada club pecinta kereta api, club ‘bike to work’, club olah raga basket, club pengkoleksi album musik jazz, dan lain-lain. Mengapa club tersebut bisa terbentuk? Karena para anggotanya memiliki hobi yang sama, memiliki kesamaan.

HARAPAN. Tidak heran kalau daftar harapan lebih banyak dibanding yang lain. Namanya juga cita-cita dan harapan. Bahkan kalau daftarnya boleh dipanjangkan pasti masih banyak harapan-harapan lain yang akan muncul untuk mencoba mencari yang ideal seperti yang ada dalam bayangan kita. Meskipun jika ternyata ada satu-dua yang tidak dapat terpenuhi, kita toh masih bisa menerima orang lain sebagai pasangan kita, rekan kerja atau atasan kita (walaupun dalam beberapa kasus dikatakan, kita tidak dapat memilih atasan kita, tapi sebenarnya bisa!-kapan-kapan kita bahas lebih lanjut ya...)

PERBEDAAN. Mengapa harus ada ‘perbedaan’ dalam daftar persyaratan di atas? Seperti uraian saya sebelumnya, perbedaan dalam persyaratan di atas ternyata dimaksudkan sebagai “penyeimbang”.
Kalau kita suka warna merah dan pasangan kita suka warna merah, maka selesai urusan. Tidak perlu lagi kita berkomunikasi atau berdiskusi dengan pasangan kita karena pasti pasangan kita akan setuju dengan warna pilihan kita, yaitu merah.
Akan berbeda kondisinya kalau kita suka warna merah dan pasangan kita suka warna putih, maka sebelum kita memutuskan membeli atau membuat sesuatu untuk kepentingan bersama, kita akan berkomunikasi dan berdiskusi dengan pasangan kita, enaknya warna apa ya? Apakah merah garis-garis putih atau putih dengan latar belakang merah atau mungkin menjadi pink saja, campuran dari keduanya? Dan masih banyak lagi yang dapat kita diskusikan dengan pasangan kita, untuk menentukan warna pilihan “kita”.
Perbedaan membuka jalan menuju diskusi. Namun harus diingat, bahwa diskusi dilakukan dengan tetap mengelola emosi dan merespon secara positif untuk menghasilkan interaksi yang produktif.

Sepertinya tidak berbeda dengan dunia kerja. Biasanya kita akan merasa lebih ‘sreg’ untuk bekerja sama dengan rekan kerja, atasan atau tim yang memiliki kesamaan dengan kita, entah itu cara kerjanya, sifatnya, atau mungkin cara pandangnya. Namun dalam kenyataannya, rekan kerja atau bahkan atasan kita, tidak selalu punya kesamaan-kesamaan dengan kita.
Dan kita tidak dapat mengharapkan orang lain selalu memiliki kesamaan dengan kita, hanya supaya kita dapat bekerja sama atau merasa cocok dengan mereka. Perbedaan mestinya tidak dipandang sebagai suatu hambatan untuk berinteraksi dengan orang lain, melainkan merupakan materi untuk menuju interaksi yang lebih produktif. Memandang perbedaan sebagai penyeimbang, sebagai ide segar di luar kesamaan-kesamaan yang kita miliki akan memberi kita materi diskusi yang tak ada habisnya, karena masih bisa terus dikembangkan dan dikembangkan.

Kesamaan memudahkan kita untuk saling berinteraksi, dan perbedaan menjadikannya lebih bervarisi. (oktira)

Mengatasi Perasaan Negatif

MENGATASI PERASAAN NEGATIF


Bukan Jakarta namanya kalau tidak macet. Mungkin itu ungkapan yang pas kalau kita terjebak macet di Jakarta. Justru kalau Jakarta lengang, orang malah terheran-heran, kenapa kok tiba-tiba Jakarta jadi sepi? Kalau tidak lagi lebaran ya liburan (sekolah).

Jarak perjalanan saya ke kantor sebenarnya tidak terlalu jauh hanya sekitar 35km sekali jalan, lewat jalan tol setengah, setengahnya lagi jalan biasa (menghindari 3 in 1). Namun cobaan dan ujian kesabaran sepanjang perjalananan terasa lebih jauh dari jarak yang sebanarnya.
Karena masih belum punya asisten yang membantu saya menyetir, maka saya masih harus menyetir sendiri. Teman-teman saya bilang saya termasuk orang yang sabar karena masih bisa menyetir sepanjang 35km yang waktu tempuhnya bervariatif mulai dari 1,5 jam kalau jalan benar-benar lancar sampai 3 jam kalau terjebak macet yang tak berkesudahan. Saya bangga tentunya mendengar ’pujian’ teman-teman tersebut. Tapi jangan salah, saya punya banyak masalah kesabaran sepanjang perjalanan itu.

Masih tentang bahu jalan. Sepertinya saya punya ‘klik’ tersendiri setiap kali memperhatikan bahu jalan 
Alhamdulillah, saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan bahu jalan jika berjalan di jalan tol, malah bisa dibilang anti. Kalaupun saya tidak menyetir sendiri, maka saya akan bilang ke ’pak sopir’ untuk tidak menggunakan bahu jalan, kecuali dalam kondisi darurat sesuai aturannya.

Manusiawi kalau ada perasaan marah atau jengkel saat ada mobil yang dengan sengaja mendahului dari kiri, atau berjalan lambat di jalur kanan pada saat di jalan tol, atau tiba2 pindah ke lajur dari bahu jalan karena di bahu jalan ada polisi yang sedang patroli. Terus terang saya akan marah juga dengan kejadian-kejadian itu, bahkan seringkali kemarahan saya terbawa terus sepanjang perjalanan saya sampai di kantor. Ujung-ujungnya, sampai kantor saya capek sendiri, capek hati dan capek badan karena tegang terus. Dan kejadian seperti ini tidak sekali-dua kali terjadi, tetapi setiap hari, minimal 3 jam dalam sehari dan 5 hari dalam seminggu.
Bisa anda bayangkan betapa capek badan dan pikiran bila 15 jam dalam seminggu yang kita bawa adalah rasa marah dan jengkel.

Itu yang berlaku pada saya, belum tentu Anda pun merasa demikian untuk kejadian yang sama. Setiap orang memiliki cara yang berbeda2 saat mulai terpancing (ingat artikel saya “Melawan atau Mengarahkan Lawan”) dan mengalami situasi sulit.
Beberapa orang mampu mengelola emosinya dengan baik sehingga mampu memberikan tanggapannya secara produktif dan tidak terpancing. Beberapa lainnya memberikan tanggapannya dengan tidak produktif, seperti saya waktu itu.

Tapi itulah kenyataannya. Setelah sekian lama, baru saya menyadari bahwa kejengkelan dan kemarahan saya itu tidak perlu. Siapa sih yang rugi kalau kita marah dan jengkel ke orang lain? Tak lain dan tak bukan ya diri kita sendiri. Sementara orang lain tetap melaju meninggalkan kita yang bersungut-sungut menahan kesal.

Setiap orang memiliki perasaan yang berbeda-beda saat mengalami seituasi sulit. Hal ini bisa disebabkan oleh latar belakang atau pengalaman yang berbeda.
Misalnya latar belakang keluarga. Seseorang yang terbiasa mendengar suara keras dalam keluarganya, tidak akan terganggu atau biasa saja menghadapi orang yang berteriak2 di dekatnya, tetapi sebaliknya, seseorang yang terbiasa diperlakukan lemah lembut dalam lingkungan keluarga, akan merasa tidak nyaman bila mendengar suara keras sekalipun suara tersebut tidak bermaksud untuk memperlakukan dia secara kasar.

Atau karena pengalaman. Seseorang yang sudah pernah bertemu dengan pelanggan A yang sangat kritis dan cerewet, misalnya, maka terhadap kata-kata pelanggan A yang kritis, dia akan merasa biasa-biasa saja, karena dia sudah sering mengalaminya. Tetapi akan berbeda bila pelanggan A bertemu dengan orang yang baru pertama kali mengenal dia, maka bisa jadi orang tersebut akan bereaksi keras dan membalas kata-kata A yang kritis.

Biasanya Anda melakukan sesuatu sesuai dengan yang Anda rasakan, bila Anda merasa negatif, maka perilaku negatif yang akan Anda perlihatkan. Sebaliknya bila Anda merasa positif, maka perilaku positif yang akan Anda perlihatkan. (bahasa kerennya mungkin LoA ya?)

Berdasarkan pemahaman itu pulalah, dua minggu belakangan ini, saya mencoba untuk mulai belajar bersabar (terlambat? Tidaklah, tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar bukan?). Dan latihan pertama saya adalah belajar mengatasi perasaan negatif selama di jalan, walaupun masih banyak hal-hal lain yang membutuhkan latihan kesabaran saya juga.

Ada banyak cara untuk menghindari atau mengatasi perasaan-perasaan negatif. Ada cara-cara negatif, ada pula yang positif.
Yang kita bahas cara-cara yang positif saja, siapa tahu dapat menjadi contoh.

Perubahan fisik
Kadang-kadang Anda mengatakan tidak dapat mengubah perasaan Anda. Cobalah untuk mengubah posisi Anda, berpindah, bergerak, berjalan di tempat, berdiri dari duduk atau sebaliknya. Dalam kasus saya, agak sulit karena dalam kondisi sedang menyetir (mau berjalan-jalan jelas tidak mungkin). Maka perubahan fisik yang bisa Anda lakukan misalnya, mengubah posisi duduk dari bersandar menjadi tegak (atau sebaliknya), posisi pegangan setir yang tadinya memegang penuh secara horisontal di kiri dan kanan, pindahkan ke bawah atau atas salah satunya, atau meletakkan tangan di sandaran tangan untuk beberapa saat.
Perubahan fisik sederhana atau mengganti aktivitas Anda, dapat mengubah perasaan Anda.

Mengalihkan perhatian
Jika distorsi biasanya tidak disarankan pada saat kita fokus pada sesuatu, maka tidak demikian saat Anda mengalami perasaan negatif. Mengalihkan atau memecah perhatian pada hal lain selain perasaan negatif yang Anda alami, dapat mengurangi ‘stres’ Anda. Tentu saja pemecah perhatian Anda adalah sesuatu yang positif.
Anda mungkin bisa menyetel musik favorit Anda agak keras dan ikut bernyanyi atau bila perlu sambil menggerakkan badan Anda sesuai irama musik (Anda tidak perlu khawatir dipertanyakan oleh orang lain apa yang terjadi dengan Anda, karena hal tersebut adalah wajar). Atau Anda bisa makan makanan kecil (ngemil) atau makan permen, karena dengan menguyah, membuat Anda mengalami aktivitas yang berbeda. Rasa yang ditimbulkan oleh makanan atau permen yang Anda kunyah akan membantu mengalihkan sedikit perhatian Anda.

Mencari sisi positf atau melihat dari cara pandang orang lain dari setiap perasaan negatif yang Anda rasakan.
Sulit memang, tetapi Anda bisa berusaha. Salah satunya adalah dengan memunculkan pemikiran yang membuat Anda dapat memaklumi suatu kondisi.
Misalnya, jika seseorang menyalip Anda (seperti yang saya alami), maka munculkanlah pemikiran bahwa, orang tersebut sangat terburu-buru, mungkin ada seseorang dalam mobilnya yang sakit dan harus sampai di rumah sakit dengan segera, atau mungkin istrinya mau melahirkan, atau mungkin dia terlambat menghadiri suatu pertemuan paling penting dalam hidupnya, dll.
Atau jika seseorang tiba-tiba menyerobot antrian Anda, munculkanlah pemikiran mungkin orang tersebut sudah mengantri dari kemarin dan belum juga mendapatkan tiket, atau kakinya sedang sakit sehingga tidak kuat berlama-lama berdiri, atau mungkin ....

Tindakan apapun yang Anda lakukan untuk mengurangi perasaan negatif Anda, yang terpenting adalah Anda harus bertanggung jawab terhadap perasaan Anda sendiri dan tidak menyalahkan orang lain. Dan yang pasti melakukannya dengan ikhlas...

Sabar Itu Indah ...
Bersabar diri merupakan ciri orang-orang yang menghadapi pelbagai kesulitan
dengan lapang dada, kemauan yang keras, serta ketabahan yang besar.

DISIPLIN : orang, pola pikir, tindakan atau budaya?

DISIPLIN : orang, pola pikir, tindakan atau budaya?


“Saat ini sedang dilakukan ‘operasi bahu jalan’ di jalan tol jagorawi, bagi para pengguna jalan tol untuk tidak menggunakan bahu jalan kecuali dalam keadaan darurat.”
Demikian suara penyiar radio yang sedang menyiarkan berita. Saya sedikit heran dengan isi berita tersebut, mengapa harus dilakukan operasi bahu jalan, karena sudah jelas-jelas terpampang rambu di sepanjang jalan tol “dilarang menggunakan bahu jalan kecuali dalam keadaan darurat” atau “bahu jalan hanya untuk keadaan darurat”.

Kalau saya berpikir secara ‘normal’ menurut saya, operasi bahu jalan tidak perlu dilakukan karena alat pemberitahu sudah tersedia dan sosialisasinya pun sudah ada sejak jalan tol tersebut dibangun.
Namun, sebaiknya saya berpikir ‘up-normal’ (sedikit di atas normal) untuk dapat membenarkan tindakan ini, karena dalam kenyataannya, tidak peduli apakah ada rambu atau tidak, tetap saja banyak pengguna jalan tol yang menggunakan bahu jalan untuk melajukan kendaraannya, apakah itu untuk menyalip (dari kiri) ataupun sekedar menghindari kemacetan (kecuali jika ada petugas).

Saya sering tersenyum sendiri dan merasa ‘kasihan’ bila melihat pengguna jalan tol yang dengan arogannya menggunakan bahu jalan, melaju dengan kencang mendahului mobil-mobil yang mengantri di lajur yang benar. Dan senyum saya akan bertambah lebar, saat melihat mereka mencoba menyelip diantara mobil-mobil yang mengantri di lajur kiri, karena, ternyata, di depan mereka, di bahu jalan, terparkir mobil petugas polisi patroli jalan tol. Saya hanya bergumam, “kasihan, mental disiplin mereka hanya sampai segitu.”

Seperti sebuah organisasi, masyakarat kita pun merupakan sebuah organisasi yang memiliki peraturan, kebijakan, ketentuan dan prosedur yang harus ditaati oleh anggotanya. Namun kenyataannya, seberapapun organisasi memiliki peraturan, kebijakan, ketentuan dan prosedur kerja, tidak dapat dipastikan bahwa peraturan, kebijakan dan prosedur kerja tersebut dilaksanakan sesuai sebagaimana yang seharusnya.

Maka wajar bila kemudian organisasi melakukan audit guna memastikan peraturan dan prosedur tersebut dijalankan. Sebagaimana petugas yang berwenang (polisi lalu lintas) melakukan operasi/ pemeriksaan di jalan. Namun bila kita tilik lagi, seberapa sering organisasi melakukan audit, seberapa sering petugas berwenang melakukan operasi/ pemeriksaan, dan bagaimana hasilnya, dari satu pemeriksaan ke periode pemeriksaan berikutnya?

Selalu saja ada bagian dari peraturan atau prosedur yang tidak dijalankan. Mengapa? Secara umum seringkali penyebab utama bukanlah pada alatnya, melainkan karena kurangnya kesadaran untuk melakukan sesuai yang diharuskan, kalaupun dilakukan, seringkali tidak secara konsisten. Sebagian orang melaksanakan kebijakan ataupun prosedur tersebut karena ‘harus’ dan bukan karena kesadaran pentingnya mengapa dilakukan.
Sama seperti yang dilakukan oleh para pengguna jalan tol yang taat peraturan jalan hanya jika ada petugas karena takut kena tilang, bukan karena faktor keselamatan dirinya.
Disiplin yang dipunyai adalah disiplin karena adanya peraturan, kebijakan ataupun prosedur, bukan disiplin karena sesuatu yang diyakini sebagai nilai diri, bukan disiplin karena sesuatu yang menjadi kebiasaan, menjadi budaya.

Jim Collin dalam bukunya ‘Good to Great’ menyatakan, semua organisasi memiliki budaya, beberapa memiliki disiplin, tetapi hanya sedikit yang memiliki “budaya disiplin”.

Budaya disiplin itulah yang mestinya ditanamkan dan dikembangkan dalam organisasi dengan bentuk apapun, sehingga disiplin yang dijalankan adalah merupakan budaya, kebiasaan, standar atau nilai yang diyakini oleh setiap individu dalam organisasi. Bukan sebagai ‘polisi’ atau ‘hukum’ yang menghakimi dan mengadili bila seseorang tidak berlaku disiplin. Disiplin yang seperti ini akan pasang surut seiring dengan penerapan peraturan dan kebijakan dalam organisasi tersebut. Terlebih lagi bila penerapannya tidak konsisten.
(Saya yakin banyak contoh realnya).

Jika Anda memiliki orang yang disiplin, Anda tidak memerlukan hirarki.
Jika Anda memiliki pola pikir yang disipliln, Anda tidak memerlukan birokrasi.
Jika Anda memiliki tindakan yang disiplin, Anda tidak memerlukan pengendalian yang berlebihan.
Jika Anda memiliki budaya disiplin dan etika,
Anda akan menemukan ramuan ajaib untuk menghasilkan kinerja yang hebat.
(Jim Collins)

Menimbun Perasaan Negatif

MENIMBUN PERASAAN NEGATIF

Perasaan-perasaan negatif apa sajakah yang anda timbun hari ini?

Pernah dengar cerita ini?
Hari ini Anda bangun kesiangan karena rupanya jam weker Anda tidak berbunyi dan setelah Anda cek, ternyata Anda lupa menyetel alarmnya. Padahal hari ini Anda ada meeting dengan klien yang jadwalnya susah payah Anda peroleh.
Bergegas Anda pergi ke kamar mandi untuk mandi, ternyata di tengah-tengah Anda mandi, air habis terpaksa Anda mengisi tadah air dan melanjutkan mandi Anda. Selesai mandi Anda pun mencoba untuk tetap sarapan dengan sepotong roti dan secangkir kopi. Namun karena tergesa-gesa, kopi Anda pun tumpah, dan mengenai baju Anda. Terpaksa Anda mengganti baju Anda dengan yang bersih.
Mengingat lokasi yang cukup jauh, Anda memutuskan untuk naik taksi, agar Anda tidak perlu menyetir sehingga dapat mempersiapkan dan mengecek kembali berkas-berkas yang diperlukan dalam meeting. Rupanya mencari taksi tidak semudah yang Anda kira, karena ternyata Anda memerlukan waktu sekitar 15 menit untuk menunggu mendapat taksi kosong. Akhirnya Anda pun mendapatkan taksi. Ketika Anda sampaikan tujuan Anda kepada sopir taksi, ternyata sopir taksi tidak mengenali daerah tersebut karena dia baru mulai bekerja, sehingga dia perlu petunjuk dari Anda, artinya Anda tetap harus memperhatikan jalan untuk memberi tahu sopir taksi alamat yang Anda maksud.
Bermaksud mengambil jalan pintas, ternyata Anda terjebak macet setelah sebelumnya terhalang oleh kereta api yang melintas. Karena tidak terlepas dari macet juga, akhirnya Anda memutuskan untuk melanjutkan perjalanan Anda dengan naik ojek. Namun baru saja Anda melewati belokan pertama, seorang petugas polisi memberhentikan ojek Anda, karena Anda tidak memakai helm. Setelah selesai proses tilang, Anda pun melanjutkan perjalanan kembali. Sayang seribu sayang, ketika Anda sampai di kantor klien, klien yang akan Anda temui sudah keluar kantor karena telah menunggu Anda cukup lama dan dia mempunyai janji meeting yang lain.
Pppppffffff......!!!

Begitu banyak perasaan negatif yang Anda alami pada hari itu.
Contoh di atas mungkin ekstrim, tetapi bisa jadi suatu saat terjadi pada Anda, mungkin dengan versi yang berbeda, (semoga tidak).

Semakin banyak Anda menumpuk perasaan negatif, maka suatu saat Anda akan menumpahkannya kepada orang lain, dan orang lain itu bisa jadi rekan Anda atau bahkan pelanggan Anda.

Bagaimana menghindari menumpuknya perasaan-perasaan negatif?

1. Mengubah harapan anda (terhadap orang-orang & kejadian-kejadian).
Jika Anda menetapkan harapan yang terlalu tinggi atau spesifik atas perilaku orang lain, Anda mungkin akan sering kecewa. Jika Anda membayangkan dan mengharapkan kejadian-kejadian khusus terjadi, Anda mungkin juga akan kecewa pada hasil yang sebenarnya. Dan pada akhirnya Anda akan menumpuk satu-dua perasaan negatif akibat kekecewaan Anda.
Jika orang lain tampak sering mengecewakan Anda, mungkin Anda berharap terlalu banyak atau Anda tidak memberitahukan harapan Anda kepada mereka.

2. Menerima orang lain dan kejadian-kejadian sebagaimana adanya.
Jika Anda dapat menerima orang lain ataupun kejadian sebagaimana adanya, maka Anda akan menumpuk lebih sedikit perasaan negatif. Bila Anda selalu membandingkan orang lain atau kejadian sebenarnya dengan harapan Anda, maka Anda akan menumpuk lebih banyak perasaan negatif. Jika Anda kecewa terhadap seseorang atau suatu kejadian, pandanglah perilaku orang tersebut atau kejadian tersebut secara positif.

3. Mencari hal positif dari setiap perilaku orang lain atau dari setiap kejadian.
Dengan berasumsi bahwa dibalik setiap perilaku orang lain atau setiap kejadian terdapat hal positif akan mencegah Anda memunculkan perasaan negatif dan mencegah Anda memiliki harapan-harapan yang mungkin tidak dapat terpenuhi.

4. Jika anda perlu bantuan, mintalah.
Jangan berharap orang lain membaca pikiran anda. Sampaikanlah apa yang Anda inginkan atau perlukan. Jika Anda berharap orang lain otomatis tahu apa yang Anda inginkan, Anda mungkin juga merasa dapat membaca pikiran orang lain dan menafsirkan perilaku orang lain yang dapat mengakibatkan perasaan negatif pada diri Anda.

5. Memutuskan untuk tidak bereaksi terhadap perilaku orang lain.
Anda dapat memutuskan bahwa marah, kesal atau apapun perasaan negatif yang orang lain rasakan adalah masalah mereka. Anda dapat berasumsi bahwa perasaan-perasaan itu tidak diarahkan kepada Anda secara pribadi, tetapi pada ‘sesuatu’ yang lain.

6. Mengambil tanggung jawab atas perasaan anda sendiri.
Bertanggung jawab atas perasaan Anda sendiri dan tidak menyalahkan orang lain adalah cara positif untuk memberikan reaksi terhadap perilaku orang lain atau terhadap suatu kejadian. Berhentilah mengatakan, “Dia membuat saya marah,” atau “Kejadian ini membuat saya marah.” dan menggantinya dengan “Saya marah”, artinya Anda memutuskan untuk marah bukan ‘dia’ atau ‘kejadian’ itu yang membuat Anda marah.

Jika Anda mampu memperjelas harapan Anda, mengubah harapan Anda terhadap kejadian atau perilaku orang lain dan menerima kejadian atau orang lain sebagaimana adanya, maka Anda tidak akan menimbun begitu banyak perasaan negatif.

Tuesday, February 23, 2010

Melawan atau Mengarahkan Lawan?

MELAWAN atau MENGARAHKAN LAWAN?

Apakah Anda suka memancing?
Bagaimana perasaan Anda selama kegiatan/ proses memancing tersebut?

Bagaimana (kira2) perasaan si ikan selama proses dipancing?
Antara ingin memakan umpan atau menghindari mata kail Anda....

Kalau ternyata si-ikan memilih untuk memakan umpan Anda, maka apa yang kemudian dirasakan oleh si-ikan? Marah atau kesal atau merasa kalah......

Siapa yang memegang kendali sebelum ikan terpancing?
Anda mungkin berpikir Anda lah yang memegang kendali, karena Anda merasa bisa mengarahkan mata kail kemana pun Anda mau, dan ikan akan mengikuti.

Siapa yang memegang kendali setelah ikan terpancing?
Anda mungkin masih berpikir, Anda lah yang memegang kendali, karena Anda merasa bisa manarik tali pancing ke atas dan memperoleh ikannya.

Sayangnya, Bukan!

Baik sebelum ataupun sesudah terpancing, yang memegang kendali adalah si ikan.

Sebelum terpancing, si ikan punya pilihan, apakah akan memakan umpan Anda atau menghindarinya.
Setelah terpancing, si ikan tetap punya pilihan, apakah akan menyerah pada umpan Anda atau mencoba melapaskan diri dari mata pancing Anda.
Saat melepaskan diri pun si ikan masih punya pilihan, apakah melepaskan diri dengan perlahan atau akan meronta-ronta karena marah dan kesal agar terlepas dari mata kail.

Nah, bayangkan Anda adalah ikan yang sedang dipancing. Apa yang akan Anda lakukan?

Pancingan dapat diartikan sebagai perilaku orang lain yang cenderung membuat Anda tidak nyaman atau menanggapi secara tidak produktif.

Anda dapat saja memancing ‘kemarahan’ orang lain dengan nada suara Anda saat berbicara, atau kata-kata yang Anda sampaikan ataupun perilaku yang Anda perlihatkan. Dan sebaliknya Anda pun mungkin dapat terpancing karena orang lain berbicara kepada Anda dengan nada dan kata-kata atau perilaku yang mungkin membuat Anda marah.

Jika Anda memberikan respon dengan cara marah dan kesal, maka pancingan orang itu berhasil, dan Anda adalah ikan yang terperangkap ke dalam umpan.
Kalau hal ini terjadi, dan Anda terus memakan umpannya, maka siapa yang pegang kendali? Orang yang memancing Anda tentunya.
Siapa yang menang? Sekali lagi, orang yang memancing Anda tentunya....karena berhasil “memperoleh” Anda...
Semakin Anda marah dengan kondisi yang terjadi, maka akan semakin sakit yang Anda rasakan. Seperti halnya ikan, semakin ‘meronta’ berusaha melepaskan diri dari pancingan, maka semakin sakit rasanya, karena ujung kail telah masuk ke dalam mulut ikan yang sudah terpancing.


Sebelum ‘terpancing’, sebenarnya Anda dapat memilih respon Anda atas pancingan tersebut. Seperti dalam olah raga bela diri Aikido, dimana diajarkan bagaimana cara Anda mengarahkan lawan yang menyerang Anda, bukan dengan cara menyerang balik.

Jika yang Anda lakukan adalah menyerang balik, maka energi yang terkuras akan lebih besar, bahkan lebih besar dari serangan yang ditujukan kepada Anda. Dan kalau ternyata usaha melawan balik Anda gagal, maka selain kehabisan energi, Anda juga akan merasa ‘kalah’.

Jika yang Anda lakukan adalah mengarahkan serangan, maka lawan akan mengikuti kemana Anda mengarahkan, karena tujuan mereka adalah menyerang, tentunya akan mengikuti yang diserang. Anda berjalan ke kanan maka lawan akan ikut ke kanan, Anda meliuk ke kiri maka lawan akan mengikuti dengan serangan meliuk ke kiri. Jika hal ini berlangsung terus menerus, maka siapa yang akan pegang kendali? Anda!

(Sama seperti memancing bukan? Kalau umpan Anda tidak dimakan-makan juga oleh ikan, maka Anda mencoba memancingnya lagi, melemparkan mata kail lagi, kalau perlu memindahkan arah umpan, kalau perlu berpindah tempat mancing, mengikuti kemana si-ikan pergi; siapa yang pegang kendali? si IKAN.)

Seperti ikan, Anda dapat mengarahkan lawan (orang yang menyerang emosi Anda) kemana pun Anda mau.
Bagaimana perasaan lawan menurut Anda?
Bisa lebih marah dan menyerang lebih keras atau berhenti menyerang.

Dan biasanya mereka akan berhenti menyerang, karena kehabisan energi dan merasa ‘kalah’.

(Kondisi yang sama seperti saat Anda memancing tetapi tidak memperoleh ikan; Manakah yang lebih sering Anda lakukan? :
• Marah/ kesal dan kemudian mengambil jala atau serokan untuk mengambil ikan dengan lebih mudah, artinya perlu tenaga dan usaha ekstra untuk memperoleh ikan tersebut;
• Pulang dengan perasaan ‘kalah’;
• Membeli ikan di pasar, (menumpahkan kekesalan/ kekalahan Anda kepada orang lain). Tapi apakah Anda merasa puas mendapatkan ikan dengan membeli di pasar? Saya yakin tidak, Anda tetap merasa ‘kalah’.)

+++++
Bila Anda mendapat ‘pancingan’, maka kelolalah emosi Anda, pilih respon yang tepat dan arahkan lawan ke arah interaksi yang produktif.
Bila Anda tidak dapat mengharapkan orang lain untuk berpikir logis, maka Anda lah yang berpikir logis.

Pemimpin yang Berkualitas

PEMIMPIN YANG BERKUALITAS

"Seorang pemimpin adalah seseorang yang melihat lebih banyak dari pada yang dilihat orang lain, yang melihat lebih jauh dari pada yang dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum yang lainnya melihat." -Levoy Eims-

Salah satu aktivitas dalam training leadership yang pernah saya ikuti adalah peserta diminta membuat daftar ciri-ciri pemimpin yang mereka inginkan/ harapkan menurut pendapat masing-masing. Dan hasilnya sangat manusiawi, bahwa saat diminta membuat daftar keinginan, maka daftarnya panjang dan isinya ideal.
Ada yang menginginkan seorang pemimpin yang cerdas, pemimpin yang dapat memberi contoh/ teladan, pemimpin yang inspiratif, pemimpin yang tegas, pemimpin yang dekat dengan bawahannya, pemimpin yang memiliki visi, pemimpin yang kreatif, pemimpin yang tidak pelit..........dst.dst.

Hampir semuanya ideal.
Begitu ditanyakan kembali kepada para peserta, apakah ciri-ciri tersebut ada dalam diri mereka, tentu mudah ditebak jawabannya..... “Belum”.
Atau jawaban diplomatisnya adalah “Itu ciri-ciri yang saya harapkan ada pada atasan atau pemimpin saya...bukan pada saya....”

Namun ada jawaban peserta training yang masih saya ingat, karena salah satu daftarnya adalah “pemimpin yang mengayomi”...
Aduuh...teduh sekali rasanya..punya pemimpin yang seperti itu...begitu bayangan saya waktu itu. Sayangnya saya lupa penjelasan peserta tersebut, maksud dari pemimpin yang mengayomi yang dia maksudkan.

Kalau tidak salah, contoh yang dia berikan adalah :
Ibarat dalam keluarga, bila orang tua mendapat laporan anaknya nakal di sekolah, maka tidak serta merta orang tua menghukum anaknya atau meminta pihak sekolah untuk menghukum anaknya tanpa mengusut lebih lanjut permasalahannya.
Yang akan dilakukan pertama kali oleh orang tua adalah berbicara dengan anaknya, mencari tahu apa yang terjadi, mencoba mempelajari permasalahannya. Dan kalau memang ternyata anaknya salah, ya... tentu saja harus mendapat sanksi yang sesuai, baik itu dari pihak sekolah maupun dari orang tuanya. Tetapi paling tidak si anak merasa suaranya didengar, penjelasannya diperhatikan, walaupun pada akhirnya dia harus mempertanggungjawabkan kesalahannya dan memperoleh sanksi.
Mengayomi. Itulah kira-kira bahasa untuk menggambarkan ilustrasi di atas. Ada unsur melindungi dalam batasan tertentu. Ada komunikasi antara anak dan orang tua dalam konteks keluarga. Ada rasa empati dari orang tua kepada anaknya atas apa yang terjadi, yang menimbulkan perasaan nyaman dan aman dalam diri si anak, terlepas dari konsekuensi yang akan dia terima.

‘But, no body’s perfect’. Mencari pemimpin yang ideal atau berkualitas itu susah apalagi menjadi salah satu diantaranya.

Tetapi Daniel Goldman memiliki versi tersendiri tentang tipe seorang pemimpin, yaitu :

Visionary, seorang pemimpin yang mempunyai visi, tahu kemana tim-nya akan pergi dan tahu bagaimana cara mencapainya. Tak hanya menciptakan visi dan misi, seorang pemimpin juga harus mampu melakukan perencanaan yang teliti dan persiapan yang matang, serta mampu merumuskan realita yang ada, termasuk memperhitungkan kekurangan dan kekuatan yang ada dalam tim, organisasi, bahkan mungkin dalam konteks keluarga.


Coaching, seorang pemimpin yang mampu mendidik, di mana timnya dapat belajar dari dirinya, baik belajar pengetahuan maupun pengalaman. Pemimpin juga harus terus menambah ilmu dan rela membagi ilmunya demi tercapainya visi dan misi.

Affiliate, seorang pemimpin yang harmonis dan democratic, yang menghargai pendapat orang lain. Dengan menghargai perbedaan maupun kekurangan masing-masing anggota timnya, seorang pemimpin akan mampu menciptakan harmonisasi sehingga unsur-unsur yang ada saling bersinergi untuk mencapai visi dan misi. Seorang pemimpin juga dituntut untuk peka dan mampu memperhitungkan potensi yang ada untuk menciptakan dan merealisasikan visi dan misinya menjadi kenyataan.

Pacesetting, seorang pemimpin yang dapat memberi contoh dalam bertindak maupun berpikir. Pemimpin yang berpikir optimis akan menghasilkan tim yang optimis pula.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkah laku tim sedikit banyak akan mengikuti pemimpinnya disadari atau tidak. Sebagaimana seorang anak melihat contoh pada orang tuanya. Jika orang tua memberi contoh yang positif, misalnya selalu mengucapkan kata-kata baik, bertingkah laku sopan, maka sang anak pun tidak akan jauh-jauh dari tingkah laku tersebut. Sebaliknya, orang tua yang memberi contoh negatif, anak pun akan terpengaruh untuk melakukannya.

Commanding, seorang pemimpin yang tegas dan berani mengambil resiko.
Tegas bukan berarti serta merta mengambil tindakan tanpa mempelajari lebih lanjut suatu permasalahan. Tetapi seorang pemimpin juga harus mampu memimpin dengan segenap hati, jiwa dan pikirannya. Tak hanya harus memiliki kecerdasan intelektual, seorang pemimpin juga harus memiliki kecerdasan emosional.

Kombinasi dan penerapan yang tepat dari keenam unsur tersebut akan menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas, menurut Daniel Goldman.

Kemampuan-kemampuan tersebut bukanlah tumbuh dalam diri seseorang secara alamiah, tetapi kemampuan itu dapat dilatih. Artinya, siapapun dapat tampil sebagai pemimpin yang berkualitas asalkan ada kemauan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk melatih diri.

Apakah Anda salah satunya?

Pendekatan Fungsional atau Emotional?

PENDEKATAN FUNGSIONAL ATAU EMOSIONAL?


Apakah anda seorang “coffee drinker” atau anda minum kopi “sekedar minum kopi”?

Bayangkan sebelum ada cafe-cafe seperti sekarang ini, bahkan belum ada warung kopi satupun, bila A membuka warung kopi, dengan harga Rp.5,000,- per cangkir, maka ke mana orang-orang akan pergi bila ingin minum kopi? Pastinya ke warung kopi A.
Melihat kondisi ini si B ingin mencoba berbisnis warung kopi pula, maka dibukalah kedai kopi B. Dan untuk menyaingi A, maka dibuka dengan harga Rp.4,000,- per cangkir.
Jika anda seorang pengkopi yang “sekedar minum kopi”, maka, tawaran kedai B ini sanggup memindahkan anda dari warung A ke kedai B, karena anda menghemat Rp.1,000,- untuk setiap cangkir yang anda minum. Mungkin bukan hanya anda, pelanggan A yang lain yang “kopi sekedar kopi” pun akan berbondong-bondong pindah ke kedai B demi menghemat Rp.1,000,-.
Melihat kondisi ini, layaknya persaingan bisnis pada umumnya, maka hal pertama yang dilakukan A adalah menurunkan harga, katakan menjadi Rp.3,500,- per cangkir.
Kembali lagi, bila para peminum kopi adalah “kopi sekedar kopi”, maka mereka akan berbondong-bondong kembali ke warung A sekali lagi dengan pertimbangan penghematan, karena buat kelompok ini, kopi adalah sekedar kopi, yang penting mereka bisa ‘ngopi’.

Bila hal ini terjadi terus menerus; B menurunkan harga untuk memenangkan persaingan; A mambalas dengan menurunkan harga; B membalas lagi dengan harga promosi beli satu dapat gratis satu, lama kelamaan, sudah dapat ditebak apa yang terjadi.......warung dan kedai mereka tutup!

Namun, ternyata, B tidak berpikir demikian, karena dia yakin memenangkan persaingan tidak dengan cara menurunkan harga. B tetap dengan harga lamanya (atau bisa jadi malah menaikkannya), akan tetapi.....
B menggunakan pendekatan lain, dia mengubah kedai kopinya menjadi tempat menikmati kopi atau biasa kita sebut dengan ‘cafe’ dengan dilengkapi tempat duduk sofa-sofa empuk di sudut-sudut ruangan, musik hidup dimana pelanggan dapat memilih lagu, dan pembatas transparan sehingga pelanggan dapat melihat ramainya jalanan, sembari menikmati kopi mereka.

Hal baru? Tentu. Bagi seorang “coffee drinker” pasti akan segera datang untuk menikmati. Namun, hal baru ini juga mampu menarik para peminum “kopi sekedar kopi” untuk mencoba. Kali ini mungkin bukan kopinya yang membuat mereka datang ke cafe B, tetapi karena mereka ingin mencoba ‘pengalaman’ minum kopi yang ditawarkan oleh cafe B.

Itulah yang dilakukan oleh starbuck dan juga warung kopi – warung kopi (baca : cafe) yang lain. Mereka menyulap warung kopi menjadi tempat minum kopi dengan pengalaman baru.
Bila anda minum kopi di warung kopi yang sesungguhnya warung kopi, maka tempat duduk yang anda pilih pastilah yang berada jauh di dalam warung, agar tidak kelihatan dari luar kalau anda sedang ‘ngopi’ di warung itu. Bahkan bila ada teman anda yang kebetulan lewat, maka anda akan pura-pura tidak melihatnya, karena anda tidak ingin katahuan sedang ngopi di warung (kopi).
Akan tetapi akan berbeda kondisinya kalau anda sedang ngopi di -katakanlah- ‘starbuck’. Dimana kira-kira anda akan memilih tempat duduk? Hampir dapat ditebak, rata-rata akan memilih di teras, atau kalaupun di dalam, yang tetap dapat melihat dan terlihat dari luar. Mengapa? Karena, ngopi di tempat ini memberikan kebanggaan, ‘prestige’. Dan bila ada teman anda lewat di sekitarnya, bahkan bila teman anda tidak melihat anda, maka anda akan memanggil teman anda seolah-olah ingin memberi tahu bahwa anda sedang ngopi di tempat keren dan anda bangga duduk di sana. Bila berlama-lama tidak membuat anda segan, maka anda akan duduk berlama-lama hanya sekedar untuk menghabiskan 1 cangkir kopi....dan menikmati suasananya...apalagi bila ditambah dengan fasilitas teknologi yang marak akhir-akhir ini....

Kalau sudah begini, apa yang anda beli? Apakah masih tetap kopinya? Tidak lagi sepenuhnya!
Anda sudah tidak lagi sekedar membeli kopinya, tetapi yang anda beli adalah suasananya, atmosfernya, pengalamannya, kebanggaannya, ‘gaya’ nya...... sehingga anda pun rela merogoh saku lebih dalam untuk secangkir kopi ...

Lalu, bagaimana dengan para pengkopi yang “kopi sekedar kopi”, kalau mereka masih berpatokan harga hemat, pasti mereka tidak akan datang untuk membeli ‘pengalaman’.
Jangan khawatir, karena mereka bukan lagi pelanggan anda. Pelanggan anda adalah mereka yang tahu bagaimana menikmati kopi beserta suasana dan pengalamannya. Kalau tenaga penjual anda masih mengatakan bahwa para pengkopi yang “kopi sekedar kopi” adalah pelanggan anda dan mereka meminta harga ‘hemat’, Lupakan!
Prospek anda adalah para “coffee drinker” yang dengan bangga mereka mengatakan “kok ngopi di A sih...? di cafe B dong......”

Jadi, pendekatan mana yang akan anda gunakan?
Fungsional? minum kopi sekedar minum Kopi atau .....
Emosional? minum kopi adalah merasakan pengalaman baru ........

Kalau anda yang saya ajak minum kopi sekarang, mana yang lebih anda pilih ke warung kopi atau ........... cafe???

TRANSPARAN.....

TRANSPARAN .....


”Maksudnya apa sih, kalau ngomong yang transparan dong.....”

Itu kata-kata saya ketika sedang ngobrol dengan seorang teman karena teman tersebut berbicara tidak jelas maksudnya (menurut saya).
Teman saya malah balik bertanya, ”Transparan? Maksudnya? Memang transparan itu menurut kamu yang bagaimana?”

Transparan itu ya..... yang jelas, jadi kalau mau bilang ”A” ya ”A” tidak usah bilang, ”salah satu huruf vokal yang hampir selalu ada dalam setiap kata.....”
Saya kan terpaksa mikir lagi, huruf vokal ada 5 (a, i, u, e, o), hampir semuanya selalu dipakai dalam kata, tetapi ternyata yang paling sering dipakai adalah huruf ”a” tadi.

Artinya, kalau teman saya tadi ngomongnya ’transparan’, saya akan mengerti lebih cepat, ga usah pakai mikir lagi......

Namun tidak demikian menurut pendapat teman saya. Tranparan bukan berarti kita dapat melihat atau memahami dengan jelas apa yang sedang terjadi.
Dia mengumpamakan sebuah kaca bening dengan sebuah kain kasa tipis. Transparan bukan berarti kita dapat melihat apa yang berada di balik kaca bening sampai sedetil-detilnya, tetapi transparan adalah kita tahu apa yang berada di balik kain kasa tipis; tahu dan memahami yang terjadi, tetapi tidak sampai detil.

Karena saya masih bingung dengan penjelasannya, maka teman saya kembali memberikan perumpamaan. Pernah lihat kamar mandi yang memakai penutup kaca buram kan? Nah, pada saat seseorang berada dibilik kamar mandi yang berkaca buram tersebut, maka kita dapat mengatakan bahwa kita dapat melihat orang tersebut secara ’transparan’.
Artinya, kita tahu bahwa ada orang di dalam bilik kamar mandi, dan orang itu sedang melakukan serangkaian aktivitas mandi, tetapi kita tidak tahu apakah dia sedang mengguyur badannya, atau sedang memakai shampo atau sedang mengeringkan badannya dengan handuk; itulah makna transparan versi teman saya tadi.

Akan berbeda ceritanya kalau kaca yang menutupi kamar mandi tadi adalah kaca bening, maka bukan transparan lagi namanya .....

Analogi yang ingin saya bawa adalah, seringkali kita mempertanyakan apakah sistem dalam organisasi kita transparan atau tidak. Dalam persepsi kita sistem yang transparan adalah yang dapat kita lihat dengan jelas, setiap orang tahu detilnya dan bagaimana cara kerjanya.
Sehingga banyak organisasi yang menganggap bahwa transparansi akan mengganggu ”stabilitas nasional” kantor.....

Misalnya dalam sistem penggajian. Seringkali karyawan menginginkan sistem penggajian yang ”transparan”. Dan oraganisasi mengatakan bahwa organisasi belum bisa menerapkan sistem yang transparan karena takut terjadi kesenjangan karena keterbukaan tersebut. Padahal transparan kan bukan berarti membuka lebar-lebar sistem yang ada untuk diketahui oleh seluruh karyawan, tetapi dengan memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang matriks penggajian yang ada, range yang tersedia -minimum-medium-maksimum-, keterkaitannya dengan ’grade’ bila ada, dan sebagainya.
Karyawan yang cerdas tentu saja akan berusaha mengetahui lebih jauh untuk memahami sistem yang diterapkan oleh organisasinya, bahkan bisa jadi membuat analisa sendiri karena sistem tidak membukanya sampai ke sana. Hal ini wajar, selama organisasi mampu mengantisipasinya dengan menyiapkan penjelasan-penjelasan dengan ’bahasa’ karyawan dan bukan bahasa sistem.

Mungkin contoh saya terlalu ekstrim. Tapi bisa jadi itu fakta. Ada karyawan yang merasa tiap tahun kenaikan gajinya kok seret, usut punya usut, ternyata gajinya sudah mentok di range maksimum, sementara kalau mau naik gaji lagi karyawan tersebut harus naik ’grade’, sementara organisasi menerapkan sistem ”performance evaluation” untuk naik ’grade’, sementara (lagi) ’performance’ si karyawan tidak hebat-hebat amat........ lalu... apa kata karyawan...???

Semoga bermanfaat.

Sebenarnya semua uraian di atas berawal dari hasil pemikiran teman saya tersebut tentang ”transparan”, namun saya terpancing untuk menguraikannya lebih lanjut....
Terima kasih untuk obrolannya teman......

Sepotong Kata Maaf

SEPOTONG KATA MAAF ....

Siapa orang yang paling rendah derajatnya?
“Orang yang tidak percaya pada siapa pun dan tidak dipercaya oleh siapa pun.”
Dan siapakah yang lebih rendah daripada itu?
”Orang yang dimintai maaf tapi tidak mau memaafkan.”
-Sokrates-

Maaf. Mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk diterapkan.
Tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tetapi, apa yang anda lakukan setelah anda tahu bahwa anda melakukan kesalahan? Terutama bila kesalahan tersebut melukai hati orang lain? Idealnya adalah meminta maaf.

Soal meminta maaf ini ada cerita unik dari seorang teman. Anaknya yang masih berusia 5 tahun akan sangat marah apabila ada temannya yang menurut dia melakukan kesalahan, tetapi tidak meminta maaf. Bahkan, menurut cerita teman ini, anaknya akan mengejar-ngejar temannya yang telah melakukan kesalahan tersebut untuk ‘sekedar’ meminta maaf. Begitu pula bila Bunda atau Ayahnya melakukan kesalahan, maka hal pertama kali yang dia tuntut adalah kata ‘maaf’ dari Bunda atau Ayahnya, setelah itu persoalan akan selesai. Dan dia akan bergembira ria lagi.

Cerita tersebut tidak jauh berbeda dengan cerita anak saya.
Sewaktu anak saya masih bersekolah taman kanak-kanak, saya heran melihatnya akrab dengan seorang anak yang boleh dibilang agak usil dan jahil bahkan sering menjahili anak saya dalam batas kewajaran anak-anak. Dan hal ini selalu disampaikannya kepada saya setiap hari sepulang sekolah. Yang katanya si A makan donat bekalnya tanpa permisi, yang katanya si A menyembunyikan sepatunya, yang katanya si A mematahkan pensilnya, yang katanya si A menghabiskan air minumnya setelah berolah raga, yang katanya si A menubruknya dari belakang hingga terjatuh, .....pokoknya selalu ada keusilan-keusilan kecil yang dilakukan si A terhadap anak saya ini.

Tetapi, bagaimana saya tidak heran, karena walaupun cerita tentang keusilan si A selalu ada, namun setiap kali selalu saya lihat teman bermainnya adalah si A tadi.
Tidak tahan dengan keheranan saya sendiri, akhirnya saya bertanya kepada anak saya, ”Sayang, kata kamu si A itu suka usilin kamu, kok kamu mainnya sama si A terus, malahan bersahabat, kenapa?”
Dengan polos anak saya menjawab, ”Karena, setiap kali habis usil, si A selalu minta maaf, Ma.”
Oh! Saya tidak punya kata-kata lagi.

Begitu berartinya sebuah kata ”Maaf”, begitu saktinya sebuah kata ”Maaf” sehingga mampu mencairkan semua kekesalan, kemarahan dan kesedihan.....
Bahkan mampu membuat kedua orang semakin akrab bersahabat.
(Sampai sekarang -anak saya kelas 2 SD-, kalau ditanya tentang teman TK, maka nama yang akan keluar pertama kali adalah si A tadi)

Kalau begitu, memang benar kata pepatah :
Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future. (Paul Boese)

CAN DO Attitude

“CAN DO” attitude

Pernah dengar cerita “Telur Columbus”? Masih ingat ceritanya?
Berikut saya ceritakan kembali :

Columbus, seorang yang berhasil membuktikan bahwa bumi tidaklah datar seperti persangkaan orang, tidak ada tepi dunia berupa jurang yang dalam seperti dikhawatirkan banyak orang; Dia membawa bukti keberhasilannya pulang ke Spanyol.
Tentu saja banyak bangsawan yang iri dengan keberhasilan pelaut Italia ini. Banyak yang diam-diam mencemooh bahwa ekspedisi Columbus hanya biasa-biasa saja. Bahkan ada yang mengatakan bahwa, “Kalau hanya melakukan seperti itu, saya juga bisa...”

Keberhasilan Columbus ini dirayakan dengan makan malam bersama Raja Spanyol. Dalam kesempatan tersebut, Columbus menantang para bangsawan (terutama yang iri padanya atas keberhasilannya) dengan sebuah tantangan.
Columbus mengambil sebutir telur lalu berkata, “Siapa yang bisa membuat telur ini berdiri?”
Terbayang oleh anda telur yang berbentuk oval yang setiap kali kita letakkan di atas meja, cenderung menggelinding kan...

Beberapa orang mencoba membuat telur tersebut berdiri di atas meja, dan tentu saja gagal. Mereka mengatakan hal itu tidak mungkin. Setelah semua orang menyerah, Columbus menunjukkan solusi kreatifnya. Dia ketukkan ujung bawah telur ke meja sehingga retak. Hasilnya, telur tersebut bisa berdiri tanpa terguling (diatas kulit yang retak tersebut).

Dan hampir bersamaan, para bangsawan yang gagal dengan tantangan Columbus tersebut berkata, “Ah, kalau seperti itu, saya juga bisa....”

Lalu Columbus berkata kepada hadirin:
“Ini adalah hal penting sederhana di dunia. Setiap orang bisa melakukannya.....setelah ditunjukkan caranya!”


Kalau memang anda bisa melakukannya mengapa tidak anda lakukan sekarang?
Kalau anda menunggu orang lain melakukannya, baru kemudian anda berkata bisa, berarti anda hanya ‘merasa’ bisa.
Buktikan, atau orang lain akan melakukannya sebelum Anda....

Wednesday, February 17, 2010

Employee Engagement atau Employee Satisfaction?

EMPLOYEE ENGAGEMENT atau EMPLOYEE SATISFACTION?

Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk menjadi salah satu pembicara atau narasumber dalam HR Revolution Forum, sebuah event international yang diorganisir oleh sebuah lembaga training yang berkantor di Malaysia, JFPS Group Malaysia.

Yang pasti banyak pembicara yang jauh lebih senior, baik dari pengalaman pekerjaan maupun dalam pengalaman sharing. Namun hal itu tidak mengecilkan hati saya, justru saya bangga telah mendapatkan kesempatan “sepanggung” dengan beliau-beliau yang telah senior. J

Addressing the top priorities of today’s HR leaders in order to survive a tough economy” adalah tema yang diangkat dalam event HR Revolution kali ini.

Membahas tentang Talent Management & Retention, Innovation in Compensation & Benefits, Succession Planning & Leadership Development, Employee Engagement & Motivation, dan ditutup dengan Strategic HR Management.

Sharing saya adalah tentang “Making employee recognition as personal experience for every employee with an effective corporate recognition program”. Isinya memang lebih banyak tentang praktik-praktik program non-monetary recognition yang ada di perusahaan tempat saya bekerja, yaitu TNT, dan bagaimana program-program tersebut diciptakan dan dikembangkan secara terstruktur.

Pertanyaan awal yang muncul adalah, apa tujuan diciptakan atau dikembangkannya program-program penghargaan tersebut? Apakah bertujuan untuk mencapai “employee satisfaction” ataukah bertujuan untuk memperoleh “employee engagement” (sengaja kedua istilah ini tidak saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena justru itulah yang akan saya bahas di sini).

Saya yakin kedua istilah tersebut telah cukup familiar bagi komunitas HR. Dalam kesempatan tersebut, saya lempar pertanyaan ke forum : Menurut Anda mana yang memiliki nilai/ rasa yang lebih tinggi, apakah satisfaction atau engagement?

Jawaban yang saya peroleh adalah : engagement.

Saya lanjutkan ke pertanyaan berikutnya, “Lalu bagaimana Anda menjelaskan perbedaan makna keduanya?”

Seorang peserta menjawab, kalau satisfied itu senang, sedangkan kalau engaged itu loyal.

Saya anggap jawaban tersebut benar. Namun saya punya penjelasan yang lebih tentang perbedaaan “rasa” kedua istilah ini.

Sebelumnya saya mohon maaf kalau penjelasan saya ini bersifat agak eksplisit baik dalam bahasa maupun makna. Namun maksud saya adalah untuk sekedar mempertegas perbedaan “nilai” atau makna dari istilah tersebut.

Saya juga yakin, pembaca forum kita adalah orang-orang yang cukup dewasa untuk menerima penjelasan saya.

Sebelum saya berikan penjelasan lebih lanjut, kembali saya lemparkan pertanyaan ke forum, Manakah yang lebih suka Anda dengar, apakah :

1) having sex; atau

2) making love

Jawabannya tentu mudah ditebak, yaitu yang nomor 2.

Kira-kira itulah yang menjelaskan perbedaan makna antara satisfied dengan enganged.

Dengan “having sex” hasilnya adalah satisfied, dengan “making love” hasilnya adalah enganged.

Kegiatannya bisa jadi sama, namun rasa dan makna yang dihasilkan sangat berbeda.

Satisfied adalah rasa yang muncul karena kita merasa puas, senang, bahagia karena terpenuhi keinginan atau harapannya, karena mendapatkan sesuatu yang diidamkan. Namun, begitu keinginan dan harapan itu sudah terpenuhi dan sudah tidak ada keinginan lagi, maka rasa senang atau bahagia itu akan berkurang dan lama-lama hilang.

Enganged adalah rasa yang timbul setelah rasa puas, senang dan bahagia dan akhirnya muncul keterikatan dengan sesuatu yang memberinya rasa puas, senang dan bahagia itu. Rasa ini lebih bertahan lama karena keterikatannya bukan pada akibat tetapi pada penyebab yang memberikan kepuasan atau kesenangan tersebut.

Itu adalah penjelasan sederhana versi saya.

Namun, dalam bahasan ini, saya tidak akan membiarkan anda hanya memperoleh penjelasan versi saya, definisi yang lebih ”ilmiah” saya peroleh dari salah satu nara sumber yang mendefinisikan engagement sesuai “Towers Perrin Global Workforce Study, 2007-2008”, sebagai berikut :

Employee Engagement didefinisikan melalui tiga dimensi yaitu :

RASIONAL : seberapa besar karyawan memahami peran dan tanggung jawab mereka. (berkaitan dengan ‘thinking’ atau pemikiran)

EMOSIONAL : seberapa besar semangat kerja dan energi yang dimiliki oleh karyawan dalam melakukan pekerjaannya. (berkaitan dengan ‘feeling’ atau perasaan)

MOTIVASIONAL : seberapa baik kinerja karyawan dalam melakukan pekerjaannya. (berkaitan dengan ‘acting’ atau tindakan)

Sedangkan untuk tingkat engagement-nya didefinisikan sebagai berikut :

ENGAGED : karyawan memberikan seluruh kemampuannya dengan penuh kesadaran, dengan tingkat rasional, emosional maupun motivasional yang tinggi.

ENROLLED : karyawan memberikan kemampuannya dengan kesadaran tinggi secara rasional dan motivasional namun kurang ada keterikatan emosional.

DISENCHANTED : karyawan memiliki tingkat keterikatan yang rendah baik secara rasional, emosional maupun motivasional.

DISENGAGED : karyawan sama sekali tidak memiliki keterikatan secara rasional, emosional dan motivasional.

Sumber yang sama menyebutkan bahwa 4 dari 5 karyawan, tidak sungguh-sungguh memberikan potensinya dan melakukan tugasnya untuk membantu organisasi. Secara statistik hanya 21% karyawan yang Engaged, sementara 41% Enrolled, 30% Disenchanted dan 8% sisanya Disengaged.

Lebih jauh sumber tersebut juga memberikan data bahwa tingkat employee engagement mempengaruhi kinerja finansial organisasi dimana organisasi dengan tingkat employee engagement yang tinggi lebih profit dibandingkan organisasi dengan tingkat employee engagement yang rendah, dengan perbandingan operating margin sebesar 3.74% berbanding -2.01% dan net margin sebesar 2.06% berbanding -1.38%.

Karyawan yang ‘engaged’ juga relatif lebih suka tetap tinggal di organisasinya. Dengan kata lain, tingkat employee engagement juga mempengaruhi tingkat retensi karyawan, dimana organisasi yang memiliki tingkat employee engagement yang tinggi, maka 51% karyawannya menyatakan tidak berencana untuk meninggalkan organisasi; 39% menyatakan tidak mencari pekerjaan baru, namun akan mempertimbangkan tawaran baru jika ada; 5% merencanakan untuk berhenti bekerja dalam beberapa tahun lagi; 4% aktif mencari pekerjaan lain; dan hanya 2% yang telah berencana untuk meninggalkan pekerjaannya yang sekarang.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memperoleh tingkat employee engagement yang tinggi? Banyak hal dan faktor, dan salah satunya adalah reward & recognize.

Bagaimana caranya?

Terlepas dari segala definisi (baik versi sederhana maupun ilmiah), semua kembali kepada praktek di organisasi masing-masing.

Bagaimana dengan organisasi Anda?

http://okirana.blogspot.com/

Rumus Rahasia POWER RANGERS

Rumus Rahasia POWER RANGERS

Lain Transformer, lain lagi Power Ranger, tetapi mereka membawa pesan yang sama.....

Masih ingat film Power Rangers kan? Ya...mungkin beberapa teman belum hidup pada masa jayanya si ”Power Rangers” ini (J), tapi pasti pernah mendengar cerita kehebatan kelompok jagoan yang terdiri dari 5 remaja ini. Di kehidupan biasa, mereka sama seperti remaja lainnya, bermain dan berkarya. Namun, dalam kehidupan lain, mereka juga menghadapi banyak musuh yang harus dibasmi. Dan hebatnya, Power Rangers ini selalu memenangkan pertarungan. Apa rahasianya?

Apakah pada saat mereka melawan musuh dalam kondisi sebagai manusia biasa, mereka dapat memenangkan pertarungan?

”Tidak!”.

Lalu apa yang mereka lakukan? BERUBAH!!

Ada yang berubah menjadi Power Ranger Merah, Hitam, Biru, Kuning dan Pink.

Lalu apakah mereka langsung dapat memenangkan pertarungan walaupun sudah berubah?

”Tidak!” jika tidak semua anggota Power Ranger berubah.

Untuk memenangkan pertarungan maka SELURUH ANGGOTA Power Rangers harus berubah dan bertarung bersama melawan musuh mereka.

Lalu, apa yang terjadi setelah pertarungan berakhir, dan akhirnya mereka menang? Pertama tentunya membuka topeng Power Ranger mereka. Maka pada saat itulah terlihat keringat bercucuran karena kelelahan setelah bertarung melawan musuh. Artinya untuk menang kita perlu ENERGI atau USAHA.

Dan satu hal lagi, apakah dalam setiap pertarungan, kelima anggota Power Ranger ini selalu memenangkan pertandingan, walaupun mereka telah bersatu padu melawan musuh?

”Tidak!”

Kadang-kadang, mereka pun kalah. Lalu apa yang mereka lakukan? MEMINTA BANTUAN. Maka datanglah pesawat kontrol mereka, yang akan membantu mereka melawan musuh, dan memenagkan pertarungan.

Jadi, inilah ke-empat rumus rahasia Power Rangers. Untuk menang kita perlu :

1. BERUBAH

2. PERUBAHAN harus dilakukan oleh SELURUH ANGGOTA TEAM

3. Untuk berubah dan menang kita perlu ENERGI atau USAHA!

4. Apabila belum berhasil maka MINTALAH BANTUAN;

Jangan berharap sesuatu menjadi lebih baik, apabila kita tidak melakukan apapun untuk memperbaikinya....