Wanted Alive : Effective Leaders for Indonesia!
Survei Indo Barometer yang menilai Orde Baru (Orba) lebih baik daripada era Reformasi mengundang pro dan kontra. Salah satu hasil penelitian tersebut, yaitu ditemukan mayoritas publik menyatakan bahwa kondisi saat Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto lebih baik dibandingkan dengan era Reformasi.
Benarkah?
Sebuah kenyataan bernegara, bahwa saat ini Indonesia sedang menghadapi kemerosotan kualitas kepemimpinan, kemerosotan kekuatan pemimpin karena hukum, regulasi dan perubahan norma-norma sosial tidak disikapi dan diterapkan secara benar, sehingga bukannya mendukung terlaksananya proses kepemimpinan, namun malah membungkam kebenaran dan keyakinan seorang pemimpin.
Negeri ini juga semakin menyadari bahwa karakter kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) saja tidaklah cukup untuk mendorong negeri ini ke langkah yang sedikit lebih baik dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Kemampuan untuk ‘mendorong’ dengan menginspirasi saja tidaklah cukup untuk mencapai hasil. Yang dibutuhkan adalah kemampuan seorang pemimpin (leader) untuk ‘menarik’ dengan visi yang kuat.
VISI, itulah kuncinya. Akan dibawa kemana negara ini? Apa sajakah yang diperlukan? Mental seperti apakah yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi perjalanan menuju tercapainya visi, yaitu suatu kondisi yang sampai sekarang pun kita belum tahu kondisi seperti apa itu?
Maka tidaklah mengherankan kalau masyarakat mulai berandai-andai hidup di suatu jaman yang lebih jelas yang barangkali beberapa diantara mereka pernah mengalami (kalaupun tidak mengalami di negeri sendiri mungkin pada saat berada di negeri orang). Masyarakat mungkin tidak melihat ke depan, tetapi mereka melihat dari pengalaman. Apa yang mereka rasakan, itulah yang mereka sampaikan sebagai bentuk pengharapan mereka. Penterjemahannya dikembalikan kepada para pemimpin bangsa ini.
Bukan “orang” nya dan bukan pula “system”nya yang dirindukan.
Tetapi leadership dan sosok leader yang jujur, berintegritas, dan mampu memimpin sesuai dengan karakteristik orang yang dipimpinnya, memiliki visi, dan melaksanakan rangkaian rencananya dengan benar menuju visi tersebut.
Sudah terlalu banyak sistem yang dibuat di negeri ini, bahkan mungkin sudah mulai susah membuat urutan pengkodean nomornya, karena begitu banyaknya. Alih-alih membuat negeri ini lebih tertib dan rapi dengan berbagai sistem dan aturan yang dibuat tersebut, malah semakin tidak jelas tujuan, pelaksanaan dan penegakkannya.
Kemana perginya aturan “Dilarang parkir mobil di ruas jalan, dan yang tetap parkir akan ditilang dengan cara digembok roda mobilnya.” Hanya 1-2 bulan bertahan dan ‘belajar’ konsisten untuk diterapkan, lalu aturan itu pun menjadi kabur.
Kemana pula perginya tujuan penerapan “3in1” yang pada awal pelaksanaannya diharapkan akan mengurangi kemacetan di jalan-jalan utama ibukota? Yang ada malah menjadi ‘lapangan kerja baru’ bagi para joki. Salahkan membuka lapangan kerja baru dengan cara ini? (biarlah pemerintah yang menganalisa).
‘Kekonsistenan positif’ di negeri ini memang tidak pernah bertahan lama. Mengapa? Karena solusi yang diberikan tidak terintegrasi (integrated solution) dan tidak saling terhubung (align) satu sama lain. Masalah A hanya diselesaikan dengan solusi A, kalaupun nanti muncul dampaknya dan menjadi masalah B, maka solusi B pun akan keluar sebagai penangkalnya. Demikian seterusnya dan tidak akan pernah berakhir sekalipun sudah menyentuh masalah dan solusi Z, karena di negeri ini banyak orang pintar, pemimpin-pemimpin pintar yang pintar membuat berbagai masalah untuk kemudian menawarkan solusinya, demi kelangsungan kepemimpinannya.
“Kepemimpinan pada dasarnya adalah situasional (bergantung pada situasi) dan berkesinambungan. Pemimpin yang efektif tidak sekedar membuat sistem atau aturan, dan tidak hanya harus mengetahui dan memiliki gaya memimpin yang sesuai, tetapi juga harus melaksanakannya dengan benar.”
Salam,
Oktira Kirana
http://okirana.blogspot.com/