Friday, August 27, 2010

Do what you love, Love what you do

NETWorking
Do what you love, Love what you do

Networking seringkali didefinisikan sebagai dua atau lebih orang atau grup yang yang terhubung secara bersama dengan kemampuan berkomunikasi antara satu dengan lainnya.
Atau networking secara sederhana dapat didefinisikan pula sebagai interaksi informal dengan orang lain yang memiliki minat yang sama yang dapat memberikan keuntungan bagi kebutuhan bisnis maupun pribadi.

Saya sendiri mendefinisikan NETWorking sebagai :

No excuses
Enthusiasm
Trust
Working hard

No excuses
Pernahkah Anda berpikir mengapa seseorang bisa menjadi kaya? Menjadi pintar? Menjadi terkenal? Menjadi berhasil? Sementara Anda tidak?
1. Apakah keberhasilan yang mereka capai membuat Anda tergugah dan berusaha lari mengejar ketertinggalan Anda?
2. Atau Anda mulai mencari tahu apa yang membuat mereka menjadi berhasil?
3. Atau Anda mulai mencari kelemahan-kelemahan mereka?

Jika hal pertama yang Anda lakukan, maka Anda sudah mulai berpikir positif dan berusaha tetap positif pada diri Anda. Hal ini akan membuat Anda belajar dan bekerja lebih keras untuk bisa sama atau bahkan melebihi keberhasilan orang-orang tersebut. Bahkan ekstrimnya mungkin saja Anda mengatakan, “Sama-sama makan nasi, masa dia bisa berhasil/ sukses, saya enggak. Saya pasti bisa berhasil juga.”

Jika hal kedua yang Anda lakukan, ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, Anda akan mencari hal-hal positif yang membuat mereka berhasil, misalnya orang-orang ini berhasil karena mereka selalu membangun hubungan baik dengan siapapun, memiliki energi yang luar biasa untuk terus belajar, menggunakan setiap kesempatan yang datang kepadanya dengan baik, dan hal-hal positif lainnya yang pada akhirnya akan memicu Anda untuk menjadi seperti mereka.
Kemungkinan kedua, Anda akan melihat dari kacamata yang lain, misalnya mereka berhasil karena orang tuanya pejabat, sehingga mudah memperoleh ijin, mereka berhasil karena mampu membayar siapapun untuk melakukan apapun, mereka terkenal karena memiliki hubungan baik dengan pers yang dapat dengan mudah mereka pergunakan untuk mempublikasikan mereka, dan faktor-faktor ‘keberuntungan’ lain yang Anda sikapi secara negatif yang pada akhirnya akan menciutkan Anda untuk mengejar keberhasilan.

Nah, jika hal ketiga yang Anda lakukan, mungkin Anda akan mulai berpikir bahwa mereka memang terkenal, tetapi hidup mereka tidak tenang karena selalu dikejar-kejar wartawan, mereka memang berhasil tetapi tidak dapat menikmati hidup sepenuhnya karena harus bekerja sepanjang hari, mereka memang kaya-raya tetapi kehidupan keluarga mereka tidak bahagia, dan pernyataan-pernyataan yang membenarkan kondisi Anda saat ini.

Jika hal kedua dan ketiga yang Anda lakukan, maka “Excuses”-lah yang ada dalam kamus kehidupan Anda. Singkirkan! Dan bergeraklah mulai dari sekarang untuk melakukan hal yang pertama. Pecut diri Anda, jangan salahkan keadaan atau orang lain.

Enthusiasm
Antusiasisme akan membuat Anda bersemangat. Sama seperti senyum ataupun menguap (jika mengantuk), maka antusiasme juga menular. Bila Anda antusias, maka orang yang Anda ajak berinteraksi pun ikut antusias, bersemangat.
Namun jangan berkecil hati apabila ternyata orang lain tidak melihat sisi antusiasme Anda. Sangat mungkin bahwa mereka punya pemikiran berbeda atas energi Anda. Jangan khawatir, apapun pemikiran mereka, hal penting yang perlu Anda sadari adalah mencoba memahami sudut pandang mereka bila mereka memiliki perspektif yang berbeda.
Walaupun demikian, jangan simpan energi dan antusiasme Anda, tularkan kepada setiap orang untuk menemukan ide-ide cemerlang.

Trust
Trust and integrity adalah kata kunci dari kepercayaan. Jika ingin menjadi orang yang dipercaya, Anda harus siap membangun citra dalam berhubungan baik dengan semua pihak, atasan, bawahan dan rekan sejawat Anda. Anda harus meyakinkan mereka bahwa Anda sanggup dan dapat dipercaya.

Trust sangat penting dalam sebuah hubungan. Anda tidak dapat mempengaruhi orang lain tanpa orang lain percaya kepada Anda. Hubungan yang baik didasari pada saling percaya dan saling menghargai antara satu individu dengan yang lain. Memang tidak mudah untuk melakukannya, namun dengan sedikit fleksibilitas dan beradaptasi pada kebutuhan individu akan sangat membantu Anda dalam membangun sebuah kepercayaan.

Jika orang lain mempercayai Anda, mereka akan lebih terbuka untuk berinteraksi dengan Anda. Seperti berjalan di atas spiral, demikian pula dalam membangun trust. Setiap lengkungan dalam spiral ibarat perubahan dan setiap perubahan dan tantangan yang dapat Anda lewati akan meningkatkan tingkat kepercayaan mereka kepada Anda. Sebaliknya bila Anda melanggar kepercayaan yang telah mereka berikan, spiral kepercayaan akan meluncur ke bawah dan Anda akan kehilangan kepercayaan.

Working hard
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melakukan apa yang kita sukai sebagai pekerjaan kita.Seperti yang tertulis dalam kata-kata bijak, Do what you love. Namun bila Anda belum seberuntung itu, maka Love what you do.

Bila Anda belum menemukan pekerjaan yang Anda cintai, maka cintailah pekerjaan Anda sekarang. Rasa mencintai pekerjaan akan memberikan efek positif pada hasil.
Tentukan motivasi kerja Anda. Ada orang yang bekerja untuk uang, ada yang bekerja untuk aktualisai diri, ada juga yang bekerja sekedar mengisi waktu luang. Namun seorang pekerja sipirtual akan lebih mengedepankan bekerja sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Oleh karenanya dia mampu mencintai pekerjaannya karena dia tahu tujuan dari bekerja adalah Tuhan.

Tidak mudah memang untuk menjaga kecintaan Anda pada pekerjaan kita. Ada kalanya rasa cinta itu memudar. Jangan patah semangat, temukan kembali hal yang mampu mendorong Anda untuk tetap semangat. Motivasi diri Anda sendiri dan bekerja keraslah untuk mempertahankannya. Bekerja keraslah untuk selalu mencintai pekerjaan Anda.

Kehidupan bukanlah sesuatu yang statis. Dia senantiasa bergerak dinamis. Tidak semua hal berjalan sesuai dengan keinginan, namun Anda dapat mencoba untuk mengubah apa yang bisa Anda ubah, dan tetap sabar menerima apa yang tidak dapat diubah.
Jangan biarkan sedikitpun perubahan-perubahan di luar Anda melunturkan cinta Anda pada pekerjaan Anda, meluluhkan energi Anda pada kerja keras Anda.

Jadi teruslah :
1. Berpikir Positif tanpa “excuses”
2. Antusias
3. Percaya dan dapat dipercaya
4. Bekerja keras dan menyenangi pekerjaan Anda


Salam,
Oktira Kirana
http://okirana.blogspot.com/


Friday, August 20, 2010

Kasih Sayangku seperti Garam

KASIH SAYANGKU seperti GARAM

Tersebutlah suatu kerajaan yang makmur dan kaya raya yang dipimpin oleh seorang Raja yang gagah perkasa. Raja tersebut memiliki 3 orang putri yang cantik-cantik. Putri sulung bernama Asoka, putri tengah bernama Bestari dan putri bungsu bernama Caraka. Ketiga putri raja tersebut selain cantik dan lembut, mereka juga menyayangi ayahanda Raja.

Namun demikian, Raja belum cukup puas bila tidak mendengar sendiri seberapa besar kasih sayang ketiga putrinya terhadap dirinya. Maka, pada suatu hari dipanggillah ketiga putrinya untuk menghadap.
“Putri-putriku, tidak ada keraguan dalam hati Ayahanda akan kasih sayang kalian terhadap Ayahanda. Namun, Ayahanda ingin mendengar langsung dari kalian, seberapa besar kasih saying kalian terhadap Ayahanda.” Demikian Baginda Raja mengawali percakapannya dengan para putrinya.

Putri Asoka menjawab dengan penuh kelembutan, “Ayahanda, kasih sayang ananda kepada Ayahanda seperti luasnya samudra dan bentangan langit.
Baginda tersenyum bahagia mendengar penuturan sang putri sulung, sambil berkata, “Terima kasih putriku, besar sekali kasih sayangmu.”

Putri Bestari pun segera berkata, “Kasih sayang ananda kepada Ayahanda bak intan permata yang berkilau.”
Senyum Baginda Raja semakin lebar mendengar penuturan sang putrid Bestari.
Tibalah saatnya bagi putri bungsu, Caraka untuk mengungkapkan rasa kasih sayangnya kepada Ayahandanya.

Perlahan, putri Caraka berkata, “Kasih sayang ananda kepada Ayahanda seperti ananda membutuhkan garam, yang……….”
Mendengar penuturan putri Caraka, wajah Baginda Raja langsung berubah memerah dan sebelum putri Caraka menyelesaiakn kalimatnya, serta merta menyahut dengan tegas, “Kasih sayangmu hanya seperti garam? Sungguh kau putri yang tidak tahu menghormati orang tua. Pengawal, bawa putri Caraka keluar dari istana, dia tidak pantas berada di sini, karena menyayangi Ayahandanya tidak lebih dari dia menyayangi garam. Asingkan dia, dan jangan pernah bawa dia kembai ke istana.”

Demikianlah, akhirnya sang putri Caraka dibawa oleh pengawal keluar istana dan dibuang ke hutan.

Putri Caraka sedih dengan perlakuan Ayahandanya, namun dia memaafkan Ayahandanya. Haripun mulai gelap, perlahan dia melangkah menyusuri hutan. Di kejauhan tampak sebuah gubuk dengan pelita yang redup. Putri Caraka pun menghampiri gubuk tersebut yang ternyata dihuni oleh seorang ibu tua yang tinggal seorang diri. Ibu tua itu mempersilakan Putri Caraka masuk ke dalam gubuknya tanpa pernah tahu bahwa putri cantik di hadapannya adalah seorang putri raja. Putri Caraka prihatin melihat kondisi Ibu tua itu yang hidup miskin. Ternyata di kerajaan yang kaya raya yang dipimpin oleh Ayahandanya itu, masih terdapat rakyat yang hidup miskin seperti ibu tua itu.
Setelah membersihkan diri, Ibu tua itupun mempersilakan putri untuk menikmati hidangan makan malam yang hanya ada nasi dan berlauk garam. Namun karena lapar yang amat sangat, Putri Caraka pun makan dengan lahap meskipun hanya makan nasi berlauk garam. Nasi panas yang mengepul dan taburan garam ternyata rasanya nikmat sekali dan mampu menghilangkan rasa lapar sang Putri.
Putri pun teringat akan Ayahandanya dan keberadaannya di hutan itu, yaitu karena garam.

Singkat cerita, putri pun tinggal selama bertahun-tahun dengan si Ibu tua, dan sehari-hari makanan mereka adalah nasi dan garam.
Tahun pun berlalu. Suatu petang, Putri Caraka dan Ibu tua melihat iring-iringan pengawal kerajaan yang ternyata sedang mengawal Raja yang sedang berburu dan tak terasa hari beranjak petang. Raja dan pengawalnya pun meminta ijin Ibu tua untuk beristirahat sejenak di gubuknya. Tentu saja Ibu tua mengijinkannya dengan senang hati.

Tak ada yang dapat dia sajikan untuk sang Raja kecuali hidangan yang sama yaitu nasi putih dan garam. Namun, sebelum sempat Ibu tua itu menyajikan, Putri Caraka berkata, “Ibu biar saya saja yang menghidangkan.” Pada saat itulah sang Putri menyimpan garam yang selayaknya dia hidangkan bersama dengan nasi untuk sang Raja dan para pengawalnya.
Raja pun mendapat hidangan nasi putih yang masih panas mengepul. Tak ada hal lain yang dapat Raja lakukan selain melahap nasi putih yang dihidangkan, namun karena hanya nasi putih, tentu saja tidak ada rasanya. Tanpa sadar, Raja pun menggumam, “Coba kalau ada sedikit garam, nasi putih panas ini pasti akan menjadi sangat nikmat.”
Putri Caraka mendengar gumaman Raja dan berkata, “Memang, garam sesungguhnya benda kecil yang sederhana, namun sangat berharga, karena dia memberikan rasa, dan menghilangkan hambar. Dia akan mudah dirasakan kalau lidah kita peka. Seperti sebuah kasih sayang, kadang terdengar kecil dan sederhana dan hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang peka.”

Sang raja pun terkesiap mendengar perkataan sang Putri, dia baru menyadari bahwa putri yang berada di hadapannya adalah putrinya yang dulu dia usir karena menyatakan bahwa kasih sayangnya kepada dirinya seperti garam. Dan kini dia baru menyadari bahwa ternyata garam, benda kecil sederhana, namun sangat dia butuhkan.
Dengan penuh haru, Raja pun memeluk putrinya dan meminta maaf atas kesalahannya serta meminta putrinya kembali ke istana.
Dan sebagai ungkapan terima kasih kepada Ibu tua yang telah merawat putrinya selama bertahun-tahun, Raja pun mengajak Ibu tua untuk tinggal di istana.

Demikianlah, akhirnya Raja beserta ketiga purtinya hidup bersama kembali dan bahagia.

===================================

Tidak harus dengan hal besar untuk menyatakan kasih sayangmu pada seseorang, apakah itu orang tua, saudara, teman atau kepada sesama.

Selama langit masih terbentang, maka laut akan terus berada di bawahnya Dan jika laut luas tidak berbatas, maka begitu pula jumlah garam yang terkandung di dalamnya.
Selama matahari masih bersinar, maka kilauan cahaya laut dan tumpukan garam di sepanjang pantai melebihi kilau permata yang akan memancar ke seluruh penjuru dunia, dimana laut berada.
Seperti garam, kasih sayang Putri Caraka melebihi langit yang terbentang, laut yang luas dan kilauan permata, namun tetap sederhana dan tidak berlebihan, karena semua itu datangnya dari dalam hati. Dengan mengecap rasa garam, maka kita akan mengingat betapa Tuhan menciptakan laut untuk kita manfaatkan, betapa Tuhan menciptakan matahari untuk mengeringkannya, dan Tuhan menciptakan kita untuk menikmatinya dengan rasa syukur….

Have a nice weekend!

Salam,
Oktira Kirana

Thursday, August 19, 2010

Ketika Pak Jalal Tidak Takut Miskin

KETIKA PAK JALAL TIDAK TAKUT MISKIN

Menyaksikan sinetron Para Pencari Tuhan 4 (PPT4) memang berbeda dengan sinetron yang lain. Setidaknya itu pendapat saya pribadi.
Sahur ditemani sinetron PPT4 cukup menghibur dan banyak insight.
Tokoh-tokohnya terkesan begitu nyata, bagaimana digambarkan seorang yang miskin tapi sombong seperti Azrul, seorang yang tidak berpengetahuan tetapi sok tahu yang digambarkan dalam sosok udin, seorang pemuka agama yang mencari ketenaran dibalik seruannya yang diperankan oleh Akri, orang-orang yang ingin kembali ke jalan yang benar namun banyak godaan yang dihadapi, seperti yang digambarkan oleh 3 anggota kelompok komedi Bajaj. Masih ada lagi, sosok bang Jack yang baik namun seringkali salah melangkah, sosok pengurus kampung yang seringkali menggunakan ‘kepengurusannya’ untuk kepentingan pribadi, serta tokoh pak Jalal, yang digambarkan sebagai orang kaya yang sebenarnya murah hati namun kadang ria’ dalam bersedekah.

Melihat tokoh-tokoh itu dimainkan, rasanya benar-benar ada bila kita kembalikan ke dunia nyata. Yang pasti, dalam sinetron ini tidak ditayangkan seorang yang sangat kaya raya, atau sebaliknya sangat miskin papa. Juga tidak ditayangkan seorang yang jahat, yang tertawa terbahak-bahak setelah melakukan kejahatan sebagaimana yang sering kita saksikan di sinetron pada umumnya, tidak ditayangkan pula seorang yang baik hati, suci tanpa pernah berbuat salah sedikit pun. Benar-benar hampir nyata. Setiap orang pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tinggal bagaimana orang tersebut mengelola sisi buruknya mengarah menjadi kebaikan dan terus mempertahankan sisi baiknya.

Saya bukan bermaksud membuat resensi atau rekomendasi untuk menonton sinetron ini. Namun saya akan menyoroti salah satu episode yang menggambarkan bagaimana seorang Pak Jalal yang notabene adalah orang terkaya di kampung tersebut, berikhlas hati melepas semua kekayaannya demi terhindar dari fitnah duniawi, salah satunya adalah dengan melunasi hutang-hutangnya tanpa rasa khawatir bahwa hartanya akan tak bersisa bila hal itu dia lakukan dan akan jatuh miskin.

Digambarkan di sinetron tersebut bagaimana penolakan dari keluarga yang menganggap harta mereka adalah hak mereka, dan mereka takut jatuh miskin. Namun, tak sedikitpun ada keraguan dalam diri Pak Jalal untuk meneruskan niatnya. Tentunya dengan tetap berpikir rasional bahwa tanggung jawabnya terhadap keluarga tetap ada.
Diceritakan pula bagaimana proses pelunasan hutang-hutangnya dan Pak Jalal pun pulang berjalan kaki, karena mobilnya termasuk yang harus dia relakan. Sedihkan pak Jalal? Tidak.
Pada saat berjalan kaki pulang, dia pun bergumam, “Sudah lama saya tidak jalan kaki.” sambil terus berjalan pulang. (Seberapa sering kita berjalan kaki akhir-akhir ini?)

Mari kita bercermin,
Kalau kita di posisi Pak Jalal, akankah kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan?
Saya kok pesimis ya. Jangankan melunasi hutang-hutang, yang terjadi malah berhutang lagi dan lagi.
Coba kita tengok dompet kita, berapa kartu ‘hutang’ yang kita miliki, yang menjadi kebanggaan kita pada saat membuka dompet, karena kartu-kartu emas itu menyembul di sela-sela dompet kita, yang (menurut dunia konsumerisme) hal ini menunjukkan betapa ‘pentingnya’ kita di mata para pemberi hutang.
Bahkan begitu pentingnya kita, sampai-sampai produsen dompet pun menciptakan dompet khusus untuk menyimpan kartu-kartu itu sehingga dompet uang kita tidak ‘kegendutan’.

Coba tengok lagi di jalanan, berapa banyak mobil baru yang beredar, tidak hanya mobil ‘murah’ tetapi juga mobil mewah bertebaran, bahkan sehari setelah kita lihat iklannya di media, esoknya kita sudah bisa lihat para penggunanya di jalanan. Saya yakin, tidak semuanya membeli dengan cash, sebagian besar malah dengan cara berhutang (kredit). Apalagi dengan tersedianya ‘kemudahan’ untuk berhutang yang ditawarkan oleh para pemberi hutang.
(Bahkan seorang teman saya sampai mengeluh karena menerima pesan pendek yang masuk melalui ponselnya di tengah malam buta, yang ternyata hanya untuk menawarkan pinjaman. Sungguh luar biasa! Siang malam kita dikerumuni dengan berbagai tawaran yang terkadang mengaburkan mata dan hati kita.

Akan tetapi semua berpulang kepada kita, seberapa kuat kita menahan diri dari semua godaan itu. Seberapa sering kita menimbang fokus aktivitas kita antara untuk kepentingan dunia dan kepentingan ‘hari nanti’. Seberapa ikhlas kita melepas sebagian harta kita, baik yang memang diwajibkan maupun yang kita relakan tanpa takut miskin.

Banyak contoh yang bisa saya lihat seorang miskin yang sabar karena tak berharta, namun sulit saya temukan contoh seorang kaya yang bersabar akan hartanya.

(Semoga kita termasuk orang kaya yang sabar…amiiin…)


Salam,
Oktira Kirana

Monday, August 16, 2010

Transformation

TRANSFORMATION


Pernah nonton film Transformer? Bagaimana, seru?

Apanya yang bikin seru??


Apakah saat mobil-mobil keren itu berubah menjadi robot-robot canggih dan tangguh seperti si ‘optimus prime’ atau ‘bumble-bee’, sehingga mampu memenangkan pertarungan?


Kira-kira begitulah....


No success is ever defined without self-transformation

Anda tidak akan berhasil jika Anda tidak mengubah diri Anda menjadi lebih baik.


Transform, secara kamus artinya adalah membuat seseorang atau sesuatu menjadi berbeda dan (biasanya) menjadi lebih baik, lebih menarik atau mudah digunakan.

Jadi, men-transform diri sendiri adalah memberikan nilai tambah kepada diri sendiri dan mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik.


Banyak tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan transformasi. Namun yang paling penting dan yang pertama-tama harus dilakukan adalah mentransformasi pikiran kita. Pikiran kita adalah mesin penggerak setiap tindakan kita.

Apa yang kita pikirkan, itulah yang biasanya kita lakukan. Oleh karena itu, kita harus yakin bahwa kita memiliki pemikiran yang benar.


Perubahan kupu-kupu dari ulat adalah analog yang tepat proses transformasi.

Perubahan dari telur menjadi larva, dari larva menjadi pupa, sebelum akhirnya menjadi kupu-kupu dengan sayap warna warni yang indah.


Demikian juga self-transformation, perlu tahapan, perjuangan dan penuh tantangan.


Transformasi identik dengan perubahan. Dalam perubahan diperlukan energy dan waktu untuk membuatnya terjadi. Bahkan keharusan untuk meninggalkan zona nyaman (comfort zone), yang berarti harus meninggalkan cara berpikir dan bertindak yang tidak produktif. Perubahan biasanya terjadi karena dorongan dari luar.


Sedangkan transformasi akan terjadi kalau kita benar-benar menginginkannya terjadi. Memahami kondisi kita saat ini, dan mengetahui apa yang kita inginkan, adalah tahap awal untuk melakukan transformasi sebelum bertindak ke tahap yang lebih penting, yaitu komitmen.


Lebih dari itu, untuk bertransformasi, diperlukan usaha ekstra dan kegigihan dalam menghadapi tantangan-tantangan yang muncul, karena bertransformasi bukanlah hal yang mudah. Namun, hal-hal tersebut tidaklah perlu dikhawatirkan karena tantangan yang dihadapi akan membuat kita semakin kuat dan semakin dekat menghantarkan kita ke tujuan perjalanan transformasi kita.


Kalau kata Bon Jovi (seorang penyanyi rock dari manca negara) dalam salah satu lagunya

Snake bite is not my enemy, but it teach me how to fight


Kalau kita menemui hambatan, terjatuh dan bahkan terluka, bukan membuat kita berhenti, justru membuat kita belajar bagaimana menghadapi hambatan, agar tidak terjatuh dan terluka lagi. Dan semua itu diperlukan dorongan dari dalam diri sendiri.


Siapapun anda, apapun pekerjaan/ peran tugas anda, Anda dapat membuat “Transformasi” itu terjadi. Anda bahkan dapat menyaksikan diri anda bertransformasi, hal yang selama ini tidak terbayangkan oleh Anda.


Tentukan keputusannya sekarang!


Bila Anda merasa belum menggunakan sepenuhnya potensi Anda, sekaranglah saatnya...

Bila Anda belum melakukan sesuatu hal pun dalam hidup Anda, sekaranglah saatnya mengubah masa depan Anda...

Bila Anda belum tahu bagaimana memulainya, temukan seseorang yang Anda percayai telah melakukan sesuatu yang luar biasa dalam hidupnya... dan mintalah bantuannya...


Anda akan sukses bertransformasi kalau Anda benar-benar menginginkannya!


Salam,

Oktira Kirana

Friday, August 6, 2010

'Stuntman' is my middle name ...

‘STUNTMAN’ IS MY MIDDLE NAME …

Apa yang terbayang oleh Anda saat mendengar kata ‘stuntman’?
Ya, ‘stuntman’ atau pemeran pengganti atau ‘substitute’?
Kesan pertama yang tertangkap pastilah pengisi atau pelengkap yang kurang. Memang terkesan sedikit negatif, namun begitulah paradigma yang selama ini terpatri pada pikiran kita.

Perhatikan saja iklan-iklan film yang dengan bangga mengatakan “tanpa pemeran pengganti”, artinya, pemeran pengganti itu tidak penting, bila pemeran utama berani, kompeten. Mereka bangga karena untuk adegan-adegan penting, tidak ada pemeran pengganti. Contoh saja seperti bintang film Jacky Chan yang selalu mengatakan bahwa dalam semua filmnya tidak pernah menggunakan ‘stuntman’ alias pemeran pengganti tadi.

Namun, terlepas dari makna yang terkandung di dalam kata ‘stuntman’ itu sendiri, menurut saya, menjadi ‘stuntman’ dapat menjadi hal yang positif kalau disikapi dengan positif.

Saya jadi teringat pernyataan yang pernah dilontarkan oleh salah seorang public figure saat saya mengikuti sebuah seminar “…tidak perlu menjadi nomer satu untuk berkarya…”

Saya setuju sekali dengan pernyataan tersebut. Dan kenyataannya pernyataan tersebut terbukti, paling tidak versi saya sesuai pengalaman pribadi. Itu sebabnya saya tidak berkebaratan saat saya harus berperan sebagai seorang ‘stuntman’, karena sebagai ‘stuntman’ saya bisa berperan menjadi apa saja.

Saat mereka memerlukan peran dokter, maka saya bisa berperan sebagai dokter dengan baik, saat mereka memerlukan peran penasihat, saya bisa berperan sebagai seorang penasihat, saat mereka memerlukan peran pendengar, saya bisa berperan menjadi seorang pendengar, bahkan saat mereka hanya memerlukan peran pendamping, saya pun bisa berperan menjadi pendamping yang baik.

Melihat kemampuan aneka ragam yang harus dimiliki, maka jangan salah bila seorang ‘stuntman’ haruslah seorang yang serba bisa. Kalaupun belum serba bisa, maka dia haruslah seorang yang “siap” untuk dibentuk menjadi ‘serba bisa’. Karena seringkali banyak hal yang harus dia dipelajari dalam waktu singkat sebelum dipraktekkan.
Stuntman’ pun perlu training. Kecuali Anda ingin ‘stuntman’ Anda benar-benar ‘terjun bebas tidak pakai payung’ alias modal nekad.

Lalu apa yang saya peroleh dengan menjadi ‘stuntman’ tadi?
Banyak. Dari hal yang saya tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari yang tadinya tidak memahami menjadi paham, bahkan dari hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, bisa menjadi inspirasi bagi saya. Hebat kan?
Semua kembali kepada diri kita, mau belajar dari hal kecil atau mau mengecilkan hal yang bisa kita pelajari.

Kembali ke pernyataan di atas tadi, maka tidak ada salahnya menjadi orang nomer 2. Diakui atau tidak, toh orang kedua selalu diperlukan. Perhatikan saja, di setiap kepengurusan selalu ada wakil ketua. Dan aturan mainnya pun jelas, bahwa bila ketua berhalangan, maka wakil ketua akan menggantikan atau meneruskan jalannya organisasi.

Dalam hal kompetisi, maka menjadi orang ke-2 sama juga dengan menyemangati orang lain. Kok bisa?
Kalau tidak ada orang nomer 2, maka orang nomor satu tidak akan pernah merasa terancam, karena dia yakin, dialah satu-satunya orang yang akan selalu menjadi nomer satu. Beda dengan kalau dia tahu bahwa ada orang nomer 2 yang setiap saat siap menggesernya dari kedudukan nomer satu, mau tak mau, dia dipaksa untuk terus berusaha lebih baik lagi dan lebih baik lagi kalau tidak mau digeser … :) Sepertinya hal ini berlaku juga dalam bisnis.

Sama dengan orang kedua, maka ‘stuntman’ adalah orang nomer 2 yang kehadirannya dibutuhkan, entah itu sebagai pemeran pengganti, pendamping atau penyemangat.

Jadi, kalau Anda merasa menjadi ‘stuntman’ jangan berkecil hati. Mariah Carey dulunya juga backing vocalist-nya Whitney Houston, tapi sekarang dia lebih bersinar. Jadi bukan tidak mungkin kalau Anda yang sekarang ‘stuntman’ akan lebih bersinar dari pemeran utama yang sekarang Anda gantikan atau dampingi. Time will tell!

Salam,
Oktira Kirana

Thursday, August 5, 2010

Ikhlas Memberi dan Menerima

IKHLAS MEMBERI DAN MENERIMA

Sedekahkan hartamu dengan penuh keikhlasan.
Memberilah dengan ikhlas tanpa menginginkan balasan.
Membantulah dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.

Sudahkan semua itu mampu kita lakukan? Bila sudah, syukurlah. Saatnya kita berbalik dan melihat diri kita di posisi orang kedua, yaitu orang yang diberi, orang yang dibantu. Sudah ikhlaskah kita menerima semua pemberian dan bantuan itu?

Ikhlas, tidak cukup hanya pada saat kita memberi.
Tidak cukup berhenti hanya pada belajar ikhlas dalam memberi, namun juga belajar ikhlas dalam menerima.

Tanpa sadar terkadang kita tidak ikhlas dalam menerima pemberian atau bantuan dari orang lain. Entahlah, bisa jadi karena kita merasa mampu, atau kita merasa malu untuk diberi dan dibantu.

Contohnya, dalam hal pekerjaan. Pada saat kita mengalami kesulitan, pernahkah kita dengan ikhlas hati meminta bantuan? Atau bahkan pada saat teman menawarkan bantuan (yang sebenarnya memang kita butuhkan), ikhlaskah kita menerima bantuannya?
Kebanyakan dari kita akan menahan diri untuk tidak meminta atau menerima bantuan, dengan berbagai pertimbangan. Ada yang merasa belum waktunya, ada yang mengatakan “saya mampu kok”, ada juga yang karena gengsi kalau harus menerima bantuan/ pertolongan. Alasan-alasan tersebut sah-sah saja karena semua kembali kepada diri kita apakah kita sudah siap hati atau ikhlas dalam menerima bantuan orang lain yang sebenarnya memang kita perlukan.

Contoh lain, dalam keseharian kadang-kadang kita membalas pujian dengan ketidakikhlasan;
Misalnya seseorang berkata kepada kita :
"Wah, hari ini kamu kelihatan cantik".

Apa biasanya respon kita? Macam-macam, misalnya seperti :
"Memang biasanya enggak?", atau
"Ngeledek...", atau
“Kelihatannya? Berarti sebenarnya enggak dong…” atau
"Mau minta tolong apa sih, pakai memuji-muji segala", atau lainnya lagi

Jadi, ada benarnya apa yang dikatakan orang bijak, bahwa kita adalah yang kita pikirkan.
Bila kita menganggap orang lain memiliki maksud kurang baik pada saat memuji kita, maka itulah yang kita maksudkna saat kita memuji orang lain.
Bila kita berpikir bahwa orang lain memberi atau menolong kita karena ada maksud dibalik pemberian atau pertolongannya, maka sebenarnya seperti itulah yang kita pikirkan pada saat kita memberi atau menolong lain.

Ternyata, tidak hanya pada saat memberi yang butuh keikhlasan, tetapi menerima pun perlu keihklasan. Bila kita sudah mampu ikhlas dalam memberi, kini saatnya belajar ikhlas dalam menerima.

Salam.
Oktira Kirana

Monday, June 21, 2010

Tipe yang manakah Anda?

Hampir di setiap sesi training saya, saya menjelaskan tentang 4 tipe peserta training. Mungkin Anda sudah pernah mendengarnya, tapi tak apalah kalau saya ingatkan lagi di sini.


Tipe pertama adalah pembelajar (learner).

Seorang pembelajar akan mencari tahu terlebih dahulu apa tujuan dari training tersebut, apa yang hendak dicapai dengan mengikuti training tersebut. Bahkan seorang pembelajar memiliki tujuan bagi dirinya sendiri, karena seorang pembelajar tidak akan membiarkan dirinya tak tentu arah.


Tidak hanya itu, seorang pembelajar juga akan berusaha memperoleh sesuatu dari yang telah dipelajarinya. Bagi pembelajar, setiap sesi adalah proses mengubah pola pikir, mengubah perilaku, ke arah yang lebih baik.


Seorang pembelajar, akan melihat setiap sesi sebagai peluang baru untuk belajar, setiap orang di sekelilingnya adalah trainer yang dapat memberikan banyak pelajaran yang mungkin tak tersampaikan dalam kelas training. Dan seorang pembelajar akan melihat setiap pertanyaan, quiz dan test dalam sesi training adalah kesempatan untuk mengasah diri menjadi lebih baik.



Tipe kedua adalah turis (tourist).

Sebagaimana layaknya turis pada umumnya, maka tujuan training bukanlah hal utama bagi seorang bertipe turis, yang lebih penting bagi mereka adalah, apakah tempat training itu menyenangkan atau tidak, apakah perjalanan menuju ke tempat training memberikan pengalaman baru atau tidak. Training bagi mereka identik dengan rekreasi, refreshment/ penyegaran.

Seorang bertipe turis akan lebih mengingat bagaimana sebuah training berlangsung daripada isi training itu sendiri. Bila suasana training membuat hatinya senang, maka dia akan senang mengikutinya. Sebaliknya bila suasana training membuatnya tidak nyaman, maka dia tidak akan nyaman mengikuti training tersebut.

Tidak terlalu penting pula bagi tipe turis untuk mengetahui siapa ‘guide’ yang akan membawanya ‘tour’ dalam training.

Tidak semua turis menyukai tantangan. Demikian pula peserta dengan tipe ini. Beberapa diantaranya akan melihat pertanyaan, quiz ataupun test sebagai sesuatu yang mengganggu kesenangan dan menjadi beban, karena memaksa mereka meninggalkan sejenak kegembiraan yang mereka nikmati selama training.


Tipe ketiga adalah sandera (hostage).

Jelas tergambar dari istilahnya, seorang sandera sama sekali tidak mengharapkan hadir dalam sebuah training. Baginya training adalah sebuah sesi yang membuatnya sangat tidak nyaman. Jangankan mencari tahu tujuan training, mencari tahu mengapa harus pergi training saja terkadang tidak dia lakukan.

Seorang sandera tidak akan peduli bagaimana pun lingkungan membawa dia, karena pikirannya hanya terfokus pada dirinya sendiri, pada bagaimana dia mencoba menenangkan dan menyamankan dirinya. Bagi seorang bertipe sandera, setiap orang yang ada di sekelilingnya adalah ancaman, terlebih mereka yang mencoba menyampaikan hal-hal yang tidak atau belum dia ketahui. Semakin banyak informasi yang dia terima dari orang-orang di sekitarnya, semakin dia merasa terancam.

Tipe sandera cenderung tidak memperhatikan sesi training yang berlangsung. Baginya tidak ada bedanya apakah dia dapat memetik pelajaran atau tidak dari training yang berlangsung. Baginya pula, setiap pertanyaan, quiz ataupun tes adalah hukuman yang harus dia terima sebagai konsekuensi mengikuti training. Secara ekstrim, seorang sandera akan selalu berharap training segera berakhir.


Tipe keempat adalah provokator (provocator).

Rasanya tipe ini hanya memerlukan penjelasan singkat. Tujuan training, tujuan mengikutinya dan pelajaran apa yang dapat diperoleh adalah hal yang tidak sepenuhnya dipahami bagi seorang provokator.


Mustahil memang menemukan peserta dengan tipe yang seragam dalam suatu kelas training. Justru keberagaman tipe peserta itulah yang membuat training menjadi lebih hidup, lebih dinamis, lebih menarik dan lebih menantang. Seperti layaknya sebuah kehidupan, akan lebih berwarna kalau orang-orang di dalamnya memiliki karakter yang berbeda-beda.

Dan setiap tipe pasti memiliki sisi positif dan negatif. Bisa dikatakan bahwa fasilitator ikut berperan dalam bagaimana membawa sisi negatif peserta ke arah yang positi, atau lebih mengeksplor sisi positif setiap tipe. Namun, yang lebih berperan lagi sebenarnya adalah peserta itu sendiri. Semua kembali kepada diri peserta masing-masing. Apakah mereka memiliki tujuan bagi dirinya dalam mengikuti training, apakah mereka mau menyesuaikan diri dengan peserta-peserta lain dan lingkungan barunya, apakah mereka akan mengambil pelajaran dari setiap sesi, quiz atau test yang diberikan; atau tidak.


Nah, jika kehidupan ini adalah sebuah training, dan setiap peristiwa di dalamnya adalah sesi-sesi dalam training, serta setiap musibah atau cobaan adalah quiz atau test, maka termasuk tipe peserta yang manakah Anda?


Salam,

Oktira Kirana

Tuesday, June 15, 2010

I WANT TO BREAK FREE

I WANT TO BREAK FREE

(I want to break free, I want to break free)
I want to break free from your lies
You're so self satisfied I don't need you
I've want to break free
God knows, God knows I want to break free

Siapa yang tak kenal lagu ngetop keluaran kelompok music Queen ini?
Versi yang sering saya dengar dari lagu di atas adalah versi Queen (aslinya) dan versi kelompok band nasional, Dewa. Iramanya sama, ‘beat’, relatif kencang, cepat…… saya kurang tahu istilah dalam bahasa musiknya.
Bagi saya, saat mendengarkan lagu ini, berasa sekali semangat ‘kebebasan’ yang diinginkan. Menggelora, lantang, penuh semangat.
Tapi kali ini beda. Saya mendengar lagu ini di sebuah mall saat berjalan-jalan dengan suami, dengan irama yang berbeda, lebih lembut dan ‘slow’. Tak urung lagu yang irama aslinya cukup saya kenal ini mengundang komentar saya, yang saya tujukan kepada suami, “Kok lagunya jadi gitu ya? Padahal kan ‘I want to break free’.”

Yang saya ajak bicara tersenyum lalu menyahut pelan, “ingin ‘free’ kan tidak berarti harus teriak-teriak.”

Hmmm…bener juga ya…
Kebebasan kan tidak identik dengan suara keras, tidak identik dengan keramaian, tidak identik dengan teriaka, dan yang lebih penting, tidak identik dengan huru-hara.

Bukan apa-apa, setiap kali menonton berita di tv tentang demo, ternyata yang mereka (pendemo) inginkan adalah kebebasan. Kebebasan untuk memperoleh informasi-lah, kebebasan untuk berekspresi-lah, kebebasan untuk berbicara-lah, kebebasan untuk menggunakan hak-lah….dan kebebasan-kebebasan yang lain.
Tetapi mengapa harus dengan demonstrasi? Mengapa harus dengan teriak-teriak? Mengapa juga harus dengan merusak? (mudah-mudahn bukan karena mereka terinspirasi dengan lagu ini ya).
Apakah bicara kebebasan berarti harus dengan suara lantang? Tidak juga, coba simak satu lagu lain dari Indra Lesmana, isinya kurang lebih sama, tentang keinginan bebas, tetapi disampaikan dengan lebih lembut dan orang lain tetap memahami maksudnya …

Dan kuceritakan pada dunia
Tentang harapan dan angan-anganku
Aku ingin dapat bebas lepas
Aku ingin senantiasa merasa bahagia
Aku ingin dapat terbang jauh
Bila tiada yang peduli …..

Menurut saya, kebebasan itu, kita sendiri yang menentukan. Apakah kita merasa terbelenggu apakah kita merasa bebas, kita lah yang menentukan.
Tidak perlu teriak-teriak untuk meminta kebebasan, karena kebebasan itu kita yang punya. Orang lain mungkin bisa membelenggu raga kita, mengurung diri kita, tetapi mereka tidak dapat membatasi kebebasan berpikir kita, mereka tidak dapat mencegah ide-ide yang menggelembung di otak kita. Banyak cerita sejarah yang membuktikan fakta ini. Fakta bagaimana terkurung raga tidak berarti terkurung jiwa apalagi pikiran.

Masih ingat bagaimana tokoh-tokoh ternama membebaskan pikiran dan ide mereka pada saat fisik mereka terpenjara?

Ya! Seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA -singkatan dari namanya- seorang sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik, pernah dipenjarakan awal tahun 1960an, tetapi tidak berhenti menulis dan berkarya. Bahkan selama di penjara beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan umat sampai saat ini. Pemenjaraan tubuhnya dalam sangkar besi tidak memenjarakan semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya dan terus berkarya. Beliau tetap bebas mencurahkan pikirannya.

Dan nama lain adalah Viktor Emil Frankl, seorang Ph.D., yang juga seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban Holocaust*) yang selamat, menulis buku Man’s Search for Meaning, sebuah buku yang menceritakan tentang bagaimana menggunakan 'spiritual freedom' untuk mengubah ‘attitude’ dari tidak berarti menjadi memiliki arti. Dengan kebebasan berpikirnya Frankl mentransformasikan tragedi dirinya sebagai sebuah kemenangan, kesuksesan. Dan inilah yang membuat Frankl bertahan hidup meskipun sebenarnya dia juga berada di antrian ‘green mile’.

Jadi, cukuplah untuk tidak lagi menuntut kebebasan, karena pada dasarnya kita sudah bebas.

[tapi saya tetap menyukai lagu Queen ini sebagai sebuah lagu lho …]


*)Holocaust (dari bahasa Yunani: holokauston yang berarti "persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya") adalah genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap berbagai kelompok etnis, keagamaan, bangsa, dan sekuler pada masa Perang Dunia II.

Salam,
Ira

Monday, June 14, 2010

SABAR, IKHLAS dan BERSYUKUR .....


”...syukuri apa yang ada...hidup adalah anugrah...terus jalani hidup ini melakukan yang terbaik...” (d’massive)

Sabar : sanggup menetralkan suasana hati saat merasa ingin marah.
Ikhlas : mengeluh lebih sedikit, berdoa dan berbuat lebih banyak.
Bersyukur : berterima kasih atas setiap kondisi yang kita terima dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Itu definisi versi saya.

Tadinya saya pikir saya bisa menuliskan dan membahas tiga hal tersebut satu persatu secara terpisah. Namun ternyata, setiap kali saya mencari makna dibalik setiap kata tersebut, maka ketiganya akan saling berhubungan.

Sabar, ditilik dari segi istilah, didefinisikan sebagai tindakan menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah.

"Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika marah." (HR. Bukhari)

Ketidaksabaran adalah penyakit hati, oleh karenanya hanya orang-orang yang kuat hatinyalah yang mampu bertindak sabar. Orang-orang yang sanggup memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif. Yaitu, orang-orang bila mendapat kebahagiaan maka dia bersyukur dan bila tertimpa musibah dia bersabar, karena dia meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi padanya adalah hal terbaik bagi dirinya.

Pernahkah Anda mendengar pernyataan,
“Sudah habis kesabaranku, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat, aku pasrah.”

Menurut saya, sabar itu tidak ada batasnya. Orang sabar tidak akan pernah kehabisan stok kesabarannya. Dia akan terus ada dan mengalir sejalan dengan peristiwa yang kita alami, bila memang kita adalah orang-orang yang kuat hati tadi.

Kesabaran bukan berarti ketidakmampuan bukan pula suatu kelemahan.
Sabar bukan berarti ‘nrimo’, bukan berarti menerima suatu kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja tanpa berusaha sedikitpun. Sabar bukanlah pula sesuatu yang pasif, tetapi sabar adalah tindakan aktif dalam menyeimbangkan suatu kondisi. Sabar adalah berusaha mengubah suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik.

Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang sabar?”
Bila jawabannya adalah belum, dan kita ingin menuju ke sana, mari berlatih, dengan cara :
1. Ikhlas.
Mengikhlaskan niat bahwa segala sesuatu adalah karena-Nya. Dan sebagaimana didefinisikan di atas, bahwa sabar salah satunya adalah menahan lisan dari keluh kesah, maka dengan ikhlas, dengan tidak berkeluh kesah, maka kesabaran itu lambat laun akan muncul.
2. Memperbanyak doa.
Doa adalah obat penenang hati, dengan berdoa, hati kita akan mendingin dan tidak mudah terbakar amarah. Dengan berdoa pula, kita akan semakin yakin bahwa Tuhan maha mengetahui yang terbaik untuk kita.
3. Bersyukur.
Dengan bersyukur kita akan dapat lebih menerima apa yang kita peroleh dan apa yang kita miliki. Dengan demikian kita akan lebih bersabar untuk tidak mengeluh atas apa yang tidak kita miliki.

(note : Anda punya cara lain dalam melatih kesabaran? lakukanlah, barangkali cara Anda itulah yang lebih tepat bagi Anda dan berbagilah, barangkali cara Anda bermanfaat pula bagi orang lain)


Salam,
Ira

Wednesday, June 9, 2010

DON’T TOUCH THESE MESS, I KNOW WHERE EVERYTHING IS …..

DON’T TOUCH THESE MESS, I KNOW WHERE EVERYTHING IS …..

Kedengarannya seperti ancaman, tetapi begitulah tertulisnya.

Tulisan tersebut saya baca di meja dosen saya sekitar 16 tahun yang lalu, dan saat ini tulisan itu pun terpampang di meja (kerja) saya.
Sama sekali bukan bermaksud mengancam, tetapi saya punya aturan tersendiri dalam menetapkan ‘organisasi’ meja (kerja) saya. Saya akui bahwa saya termasuk orang yang memiliki attention to detail cukup tinggi. Termasuk orang yang relatif memiliki banyak aturan, banyak tatanan dan ingin menjaga aturan dan tatanan tersebut sesuai porsinya, walaupun seringkali tidak mutlak terjadi demikian.

Saat pertama kali membaca tulisan tersebut di meja dosen saya, saya pun sempat berpikir seperti yang Anda pikirkan, “Sombong sekali orang ini, kayak inget aja barang-barangnya yang berantakan ini.”
Tapi, itulah istimewanya. Saya percaya, karena itu didukung dengan bukti. Dan saya adalah saksinya.
Sebagaimana mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, yang juga seringkali digambarkan di film-film lokal, pada hari yang telah ditetapkan, saya pun duduk ‘manis’ menunggu dosen saya untuk berkonsultasi tentang tugas akhir. Saya datang lebih pagi, dipersilakan duduk oleh petugas yang ada, di kursi di depan meja beliau untuk menunggu, karena beliau belum datang.

Nah, saat itulah saya baca tulisan “Don’t touch these mess, I know where everything is”.
Sempat saya berpikir seperti yang saya sampaikan di atas tadi, tetapi kemudian saya tersenyum, sambil tetap berpikir dalam hati, “masa sih, beliau ingat bener letak barang-barang yang ada di mejanya, banyak begini, berantakan pula.”

Kurang lebih setelah hampir satu jam menunggu, beliau muncul dengan gaya khas beliau (agak cowboy). Setelah sekilas ‘say hello’ beliau tidak langsung mengajak saya ngobrol tetapi langsung melihat-lihat mejanya, dan memanggil petugas kebersihan yang tadi mempersilakan saya duduk untuk menunggu. Bukan cara memanggilnya yang membuat saya melongo, tetapi pertanyaan yang dilontarkan pada si Petugas kebersihan itulah yang membuat saya melongo, karena beliau menanyakan,”Pak, ballpoint biru yang nggak ada tutupnya, yang ada di samping telepon, Bapak pindahin kemana ya?”

Belum selesai melongo saya, karena saya pikir beliau hanya lupa, eh, pak Petugas pun menjawab, “Saya masukkan ke dalam tempat pensil di meja Bapak.”
Bukan berterima kasih, beliau malah berujar dengan sedikit nada mengingatkan, “Saya kan sudah bilang, meja saya jangan dikutak-kutik, jangan dipindah-pindahkan barang-barangnya, Saya kan sudah tulis di situ, ‘Don’t touch these mess, I know where everything is’, Saya tahu kalau meja saya isinya berubah atau berpindah.”

Pak Petugas kebersihan kembali menjawab dengan lugu, “Maaf Pak, tapi saya nggak ngerti arti tulisan Bapak itu.”

Gubbraaakk!!

Kira-kira itulah yang terjadi dengan saya mendengar jawaban pak Petugas kebersihan tadi.

Pelajaran yang saya tangkap kemudian adalah :

1. Bila Anda bermaksud menyampaikan pesan, sesuaikan dengan lingkungan Anda. Bahasa tulisan bisa memiliki makna yang berbeda saat dibaca oleh orang yang berbeda, dengan cara pandang yang berbeda yang pada akhirnya menimbulkan pemahaman yang berbeda, (dalam kejadian di atas mungkin memberikan kesan kurang bersahabat, mengancam, tidak sensitif, dll.).
2. Bila Anda mengandalkan komunikasi tertulis untuk berkomunikasi dengan orang lain, pastikan sasaran ‘audience’ pesan Anda. Menggunakan bahasa yang lebih umum (universal) dan mudah dimengerti akan memudahkan pesan Anda dipahami oleh pihak yang Anda maksud.

Kembali, komunikasi selalu melibatkan 3 unsur dasar, pemberi informasi, penerima informasi dan media. Di setiap ketiganya tidak terlepas dari adanya hambatan. Rasanya tidak mungkin untuk menghilangkan semua hambatan yang ada. Yang dapat kita lakukan adalah meminimalkan hambatan yang terjadi sehingga komunikasi yang kita lakukan menjadi lebih efektif.

Namun tidak dipungkiri bahwa saya, secara pribadi, tetap menggunakan bahasa sebagaimana tertulis di atas, meski saya yakin tidak semua orang memahami maksud saya, tetapi saya cukup memahami ‘audience’ saya yang notabene secara pengetahuan di atas rata-rata. Saya hanya ingin menyampaikan pesan bahwa, silahkan meminjam barang-barang saya bila diperlukan, asalkan dikembalikan ke tempat semula, sehingga mudah bagi saya untuk mempergunakannya kembali….(jadi panjang kan kalau dituliskan demikian…?? )

Meski seringkali saya temukan pada hari Senin, awal minggu letak telepon tidak seperti pada saat saya tinggalkan di hari Jum’at, saya cukup memahami, bahwa petugas kebersihan sedang melakukan tugasnya membersihkan meja dan telepon pada hari Sabtu, dan saya tidak berhak complain atas hal itu ……. Harusnya berterima kasih malah …..

Begitu teman, sama sekali bukan bermaksud untuk tidak bersahabat… 


Salam,
Ira

Tuesday, June 8, 2010

‘Secret Recipe’


Terinspirasi dari pesan singkat seorang teman, saya mencoba mengurai lebih banyak isi pesan tersebut. Dalam pesan singkatnya teman saya memberikan semacam ‘wise word’ tentang motivasi, dan point saya tertuju pada kalimat “apa rahasia sukses dalam hidup?”



Saya jadi teringat film Kungfu Panda. Terus terang saja, saya berkali-kali nonton film ini baik dari DVD pribadi maupun setiap kali ditayangkan di televisi. Dan saya tidak pernah bosan. Menurut saya film Kungfu Panda sarat pesan dan nasihat. Banyak “insight” di dalamnya yang kalau kita jabarkan satu persatu mungkin tak cukup waktu seharian untuk membahasnya.


Pesan paling menonjol yang saya tangkap dari film ini adalah “resep rahasia” (keberhasilan/ kekuatan).

Ayah Po (si Kungfu Panda) memiliki ‘resep rahasia’ dalam mengolah mie yang menjadi andalannya.

Seorang “Dragon Warrior” dipercaya akan memiliki ilmu yang ‘melimpah’ bila dia memiliki ‘resep rahasia’ yang terdapat di dalam gulungan yang (sekali lagi percaya), hanya boleh dilihat dan dibaca oleh seorang “Dragon Warrior”.


Pertanyaannya kemudian adalah, “Apakah resep rahasia itu ada?

Saya mungkin tidak perlu menjabarkan lebih jauh karena saya yakin Anda dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut.

Terbayang oleh saya raut muka dan ekspresi si Po (si Panda) pada saat dia dinyatakan lulus oleh master Sifu dan diperbolehan untuk membuka gulungan ‘resep rahasia’ tersebut.

Sebelum membuka gulungan tersebut ekspresi mukanya begitu bersemangat, gembira dan menunjukkan keinginan dan keyakinan bahwa dia akan menjadi seorang pendekar hebat dengan tambahan ilmu rahasia dari sang master guru Oagway.

Namun seketika itu juga ekspresinya berubah menjadi tak percaya dengan apa yang dilihatnya karena gulungan tersebut ternyata KOSONG.

Tidak ada tercantum sedikitpun tentang ilmu rahasia di sana. Yang ada hanya lembaran kosong yang memantulkan wajah Po saat dia melihatnya.


Lama Po menyadari hal ini sebagai suatu “ilmu” pamungkas bagi dirinya yang telah dinobatkan sebagai seorang “Dragon Warrior”.

Baru setelah dia mendapatkan jawaban ‘resep rahasia’ versi ayahnya, bahwa ‘resep rahasia’ atau secret recipe itu tidak ada, yang ada hanyalah keyakinan diri bahwa kita bisa, mampu dan menghasilkan yang terbaik seperti yang kita inginkan; Po seakan bercermin dari jawaban ayahnya bahwa itulah makna ‘resep rahasia’ dalam gulungan tersebut.

Saat dia menatap lembaran gulungan tersebut, maka akan nampaklah raut wajahnya sendiri, dan resep rahasia itu ada di sana, di dalam dirinya, di dalam diri kita.


Tidak mudah memang, karena Po tidak hanya harus menaiki sekian anak tangga yang selalu membuatnya ‘ngos-ngos-an’, tetapi dia juga harus rela belajar mati-matian demi belajar kungfu setelah dia ditunjuk sebagai calon ‘Dragon Warrior’. Po bahkan tidak pernah menyerah sekalipun dia banyak menghadapi hambatan.


Bila kita yakin pada diri kita, maka kesuksesan atau apapun yang kita inginkan pasti dapat kita raih. Saat tersulit adalah bagaimana kita meyakinkan diri kita bahwa kita mampu.


Lembaran kertas itu akan tetap kosong, kecuali kita mengisinya dengan keyakinan dan percaya diri, kecuali kita menafsirkannya sebagai kekuatan kita.


Masih banyak ‘insight’ yang lain dalam Kungfu panda…. Lain waktu saya akan uraiakan ...


Salam,

Ira

Monday, May 31, 2010

KEHILANGAN WAKTU …..

KEHILANGAN WAKTU …..

Akhirnya saya ‘sempat’ update blog juga setelah sebelumnya seorang teman menanyakan kepada saya melalui media ‘chat’ (komunikasi untuk obrolan pendek), mengapa sudah lama tidak meng-update blog, apakah kehilangan inspirasi? Dan dengan singkat saya menjawab, “Kehilangan waktu.”

“Hilang kemana waktunya?”

Nah, untuk pertanyaan yang ini saya tidak dapat menjawabnya, karena saya sendiri tidak tahu kemana perginya waktu saya.

Time management, seringkali didefinisikan sebagai ilmu mengelola waktu, namun dalam prakteknya, seringkali kitalah yang dikelola oleh waktu.
Setiap orang punya waktu yang sama, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 4 atau 5 minggu per bulan, 12 bulan per tahun. Tetapi, mengapa ada yang merasa ‘pas’ jumlah waktunya, ada yang merasa ‘kelebihan’ namun ada juga yang merasa ‘kekurangan’. (saya katakan di sini kekurangan karena sebenarnya itu hanya perasaan si pelaku, karena jumlah waktunya toh sama saja)

Kalau mengutip Steven Covey dalam bukunya 7 Habits for Highly Effective People, habit ke-3 adalah "Putting First Things First" yang diartikan sebagai melakukan hal-hal terpenting terlebih dahulu dan melakukan hal-hal yang kurang penting setelahnya.

Lebih jauh, Covey menjelaskan, putting first things first, juga berarti menetapkan prioritas.
Bila Anda termasuk dalam kelompok orang yang selalu menetapkan prioritas, maka Anda akan melakukan hal-hal yang penting (important) tetapi tidak mendesak (urgent). Artinya, Anda melakukan hal-hal penting sesegera mungkin begitu Anda memiliki kesempatan melakukannya (misalnya mengerjakan PR sekolah atau PR kantor), namun tetap memiliki waktu untuk melakukan hal-hal lain (misalnya menonton TV atau main video game).

Namun, bila Anda seorang procrastinator, maka Anda akan menunggu sampai detik-detik terakhir (last minute) untuk bertindak, karena Anda sangat menyukai ‘ketergesaan’ ataupun ‘keterdesakan’, dan pada akhirnya, biasanya Anda akan melakukan hal yang mendesak (urgent) sekaligus penting (important) alias “last minute dot com” (istilah olok-olok yang biasa dipakai bila seseorang sudah terdesak tenggat waktu untuk melakukan hal yang penting, yang pada akhirnya menjadi urgent karena sudah tidak dapat ditunda penyelesaiannya).
~dalam kenyataannya ada tipe-tipe orang seperti ini, mereka bahkan mengatakan, kalau dalam keadaan tertekan (oleh waktu atau target), maka mereka merasa lebih cepat berpikir dan bertindak …benarkah?? ~

Bila Anda bukan termasuk kedua kategori di atas, maka kategori lain adalah “yes-man”.
Seorang “yes-man” hanya akan melakukan sesuatu karena diminta. Orang-orang dalam kategori ini melakukan hal-hal yang tidak penting, tetapi selalu urgent.

Dan kategori yang paling parah adalah ‘slacker’ atau ‘idler’. Orang-orang dalam kategori ini adalah mereka yang melakukan sesuatu tanpa pernah tahu alasannya. Mereka melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak urgent.

Nah, kembali ke ‘kehilangan waktu’ tadi, saya jadi mulai berpikir lagi, saya masuk kategori yang mana ya? Karena saya kadang-kadang merasa ‘kekurangan’ waktu.
Kalau prioritizer rasanya kok belum sempurna, proscastioner, sepertinya sering ketemu hal-hal seperti itu, ‘yes-man’, aduh! Atau jangan-jangan saya kadang-kadang jadi ‘idler’ juga?

Bagaimana dengan Anda?

Tuesday, April 6, 2010

D I S K O N

DISKON

Masih ingat gambar “My way, Your way, Our way”?


Sebelumnya saya pernah uraikan tentang perbedaan persepsi yang dapat mengakibatkan interaksi yang tidak produktif dan akhirnya terjadi ‘diskon’.

Apa yang terpikir oleh Anda kalau mendengar kata diskon (discount)?
Harga Turun? Murah? Tidak berharga? Obral? Kualitas jelek? Sudah tidak trend/ ketinggalan jaman? Cuci gudang? Barang sisa? Barang tidak laku? Remeh?

Apa yang kita rasakan bila seseorang mengatakan kepada kita, “Susah ya ngomong sama kamu, sudah dijelaskan berkali-kali tidak mengerti juga.”
Marah? Kesal? Mungkin saja, karena kita merasa direndahkan. Artinya kita di-‘diskon’.

Perasaan yang demikian itulah yang juga dirasakan oleh lawan bicara kita saat kita men’diskon’ mereka dengan kata-kata ataupun perilaku-perilaku yang kita perlihatkan kepada mereka.

Diskon dapat timbul dalam berbagai bentuk. Sikap men-diskon berarti kurangnya perhatian atau adanya perhatian negatif yang melukai kita atau orang lain secara fisik atau emosional. Sarkasme, kekasaran, ketidaksabaran, keluhan, menjelaskan secara berlebihan dan menggunakan istilah-istilah yang tidak dimengerti oleh lawan bicara, merupakan bentuk-bentuk diskon terhadap orang lain.

Kita pun dapat mendiskon diri kita sendiri atau kemampuan kita, dengan merendahkan diri sendiri, merendahkan kemampuan diri sendiri dan menghindari tanggung jawab atas perasaan kita.
Mungkin, tanpa kita sadari seringkali kita mengatakan, “Bodoh sekali saya ini” atau “Saya tidak mampu melakukannya.” itu artinya kita sedang mendiskon diri kita atau kemampuan kita sendiri. Atau pernah tidak kita mengatakan, “Gara-gara kamu, saya jadi marah-marah begini.” bila ya, artinya kita menghindari tanggung jawab atas perasaan kita sendiri, dan menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya munculnya perasaan kita.
Kalau kita marah, maka bukan karena orang lain, karena bukan mereka yang membuat kita marah, melainkan perasaan dan cara kita merespon situasi yang menentukan apakah kita akan marah atau tidak.

Oleh karenanya, hindari diskon. Diskon dapat mengakibatkan perasaan buruk atau perasaan tidak dihargai.
Mengambil tanggung pribadi terhadap suatu masalah dan memilih respon yang sesuai atas suatu kondisi dan situasi akan menghasilkan interaksi yang produktif dan menghindarkan kita dari mendiskon orang lain dan diri sendiri.

“MY WAY, YOUR WAY, OUR WAY”


“MY WAY, YOUR WAY, OUR WAY”

Apakah Anda termasuk orang yang percaya tafsir mimpi?

Bukan! Saya bukan mau mengajak anda menafsirkan mimpi atau percaya mimpi.
Seorang teman (A) bercerita kepada saya bahwa dia dimimpikan oleh temannya (B). Dalam mimpinya, si B mengatakan bahwa dia bermimpi buruk tentang A.

Sebagai seorang teman yang baik, saya mencoba menghibur A dengan mengatakan bahwa, biasanya, biasanya lho..... arti mimpi itu kebalikan dari mimpinya.... misalnya mimpi digigit ular berarti mau dapat jodoh, mimpi dipipisin bayi artinya akan dapat rejeki...... maaf, ini hanya contoh yang sering saya dengar....

Jadi, sekali lagi saya sampaikan ke A, bahwa kalau B mimpi buruk berarti akan terjadi sebaliknya. Bukan respon gembira yang saya dengar dari A, malah dia mengatakan, “Jangan sebaliknya dong..... aku ingin yang sebenarnya.” Lho!? Saya sekarang yang bingung. Bukannya tadi A bilang bahwa B mimpi buruk tapi kok malah ingin mimpinya terjadi.

Cerita punya cerita, ternyata mimpi si B adalah si A mendapat tawaran pekerjaan baru, dan dalam mimpinya B melihat A sedang menyelesaikan proses pengunduran dirinya, termasuk “exit interview” dengan bagian HR.
Menurut B, itu adalah mimpi buruk, karena B akan kehilangan teman karena pindah tempat kerja.
Menurut A, itu adalah mimpi baik, karena A mendapat kesempatan baru yang memang dia harapkan.
Oh, begitu ceritanya.

Mungkin itu yang dimaksud dengan perbedaan sudut pandang, atau lebih tepatnya cara pandang.
[Oh, satu lagi tentang kata “sudut” pandang ini, ada teman saya yang tidak setuju dengan istilah “sudut”, karena secara harfiah, sudut berkonotasi sempit atau kecil. Jadi kalau kita mengatakan sudut pandang, berarti dari pandangan yang sempit. Ini menurut pendapat teman saya.]

Perbedaan cara pandang seringkali memberikan kesimpulan yang bertentangan dan bila terjadi berkelanjutan dapat menimbulkan perselisihan.
(Contoh kecil saja, dari gambar di atas, apa yang Anda lihat? Apakah Anda melihat gambar 'wajah' atau tulisan 'Liar'? atau mungkin keduanya?)

Tentang cara pandang ini, saya mencoba membuat skema seperti berikut, yang kita sebut saja ”my way, your way, our way”



Dalam setiap situasi, ada “Menurut Saya” (area merah), “Menurut Anda” (area biru), dan “Menurut Kita” (area berarsir yang merupakan irisan merah dan biru). Situasi seperti ini dapat menimbulkan perbedaan persepsi.

Pada situasi yang sama, kita bisa memiliki cara pandang yang berbeda, yang mengakibatkan reaksi yang berbeda. Reaksi yang kita berikan berdasarkan pada nilai-nilai yang kita anut (seperti menafsirkan mimpi tadi). Masing-masing dari kita memiliki kerangka acuan yang berbeda untuk menyerap apa yang terjadi di sekitar kita.
Masing-masing dari kita menilai orang lain berdasarkan apa yang kita anggap baik, benar atau normal. Penilaian-penilaian ini berasal dari serangkaian peraturan yang bisa berasal dari keluarga, budaya atau pengalaman kita. Perbedaan penilaian dan peraturan yang dianut dapat menimbulkan pertentangan serta prasangka.

Kembali pada gambar di atas, bila kedua belah pihak berinteraksi dengan mempertahankan persepsi masing-masing, “Menurut Saya” atau “Menurut Anda” maka interaksi yang terjadi tidak produktif. Interaksi yang tidak produktif apabila diteruskan akan membuat kedua belah pihak saling meremehkan atau dalam gambar terjadi diskon (tentang diskon ini akan saya jelaskan dalam artikel selanjutnya).

Interaksi produktif akan terjadi bila kedua belah pihak memiliki cara pandang yang sama, dalam gambar di atas adalah bagian berarsir. Artinya kedua belah pihak telah menemukan persepsi yang sama, memandang dengan cara yang sama dan meyakini nilai-nilai yang sama. Semakin besar area yang berarsir, berarti semakin persamaan persepsi yang ditemukan oleh kedua belah pihak, dan semakin produktif interaksi yang terjadi.

Pernahkah kita memiliki cara pandang yang berbeda dengan rekan atau mungkin pelanggan kita? Apa yang terjadi? Bagaimana cara menyelesaikannya?
Salah satunya adalah dengan melakukan komunikasi dua arah yang efektif sehingga mampu memperlebar persamaan persepsi dan nilai-nilai, dan menghasilkan interaksi yang produktif.

Perbedaan dalam persepsi tidak “benar” ataupun “salah”. Tanggapan kita dalam hati atau yang kita rasakan terhadap suatu situasi tidak jadi masalah, yang penting adalah bagaimana kita memilih respon kita sesuai dengan kondisi & situasi yang ada, perilaku yang memberikan hasil yang paling produktif pada saat kita berinteraksi dengan pihak lain.

Talent is Never Enough - John C. Maxwell

TALENT IS NEVER ENOUGH – John C. Maxwell


“The toughest thing about success is that you’ve got to keep on being a success. Talent is only a starting point in business. You’ve got to keep working that talent.” –Irving Berlin--



Ketika seseorang mencapai kesuksesan atau mencapai sesuatu yang hebat, maka seringkali orang lain akan mengatakan bahwa kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ‘talent’.

Pemahaman yang demikian ternyata keliru. Bila ‘talent’ saja sudah cukup untuk membuat seseorang mencapai kesuksesan, mengapa masih banyak kita temukan orang-orang yang memiliki ‘talent’ tetapi tidak cukup sukses?

(note : untuk menghindarkan perbedaan pemahaman makna, maka beberapa kata-kata dalam bahasa Inggris akan digunakan sebagaimana adanya).


Dalam bahasannya, buku ini bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu secara individu dan secara organisasi. Sebagai individu, saat membaca buku ini, Anda akan menemukan banyak insight yang mampu menginspirasi Anda. Dan bila Anda membacanya dalam kapasitas organisasi, maka Anda akan menemukan cara yang lebih efektif dalam mengelola orang-orang yang memiliki talent dalam organisasi Anda.


Membaca bagian pertama dari buku ini yang bertajuk “When Talent alone is Enough?”, seakan memberikan gambaran kontradiktif akan suatu makna ‘talent’ yang selama ini kita pahami. John C. Maxwell menyadari akan hal itu, oleh karenanya dia nyatakan sejak awal bahwa buku ini tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari ‘talent’ itu sendiri, karena menurutnya, ‘talent’ adalah anugerah Tuhan yang wajib disyukuri.


John C. Maxwell memberikan 13 pilihan bagaimana memaksimalkan talent seseorang, yaitu :

1. Belief lifts your talent
2. Passion energizes your talent
3. Initiative activate your talent
4. Focus directs your talent
5. Preparation position your talent
6. Practice sharpens your talent
7. Perseverance sustain your talent
8. Courage test your talent
9. Teachability expands your talent
10.Character protects your talent
11.Relationship influence your talent
12.Responsibility strengthens your talent
13.Teamwork multiples your talent


Bila Anda melakukan ke-13 kunci tersebut, maka Anda akan menjadi seseorang yang memiliki “Talent-Plus”. Dan dengan “Talent-Plus” Anda akan menjadi seorang yang berada di atas rata-rata, demikian pernyataan John C. Maxwell.

Dan 3 hal yang diyakini John C. Maxwell adalah bahwa :

1. Setiap orang memiliki talent.

‘Carilah kekuatan Anda dan jadikanlah itu yang terbaik dari diri Anda’.(“Now, discover your Strength” oleh Marcus B. & Donald D. Clifton),

2. Kembangkan talent yang Anda miliki bukan yang Anda inginkan.

Berhentilah bekerja pada kelemahan Anda, mulailah dari kekuatan Anda.

3. Setiap orang dapat memilih apa yang memberikan nilai tambah bagi talent nya. Dan hasil apapun yang diperoleh berasal dari pilihan yang diambilnya.


Secara singkat ke 13 pilihan yang ditawarkan oleh John W. Maxwell adalah sebagai berikut :


1. Belief lifts your talent.

Hambatan utama untuk sukses adalah ketidakyakinan pada diri sendiri. Mereka yang tidak sukses, bukan karena tidak memiliki talent tetapi karena mereka tidak yakin pada kemampuan diri mereka. Bila Anda ingin menjadi yang terbaik, maka Anda harus percaya akan hal terbaik yang ada dalam diri Anda.


2. Passion energizes your talent.

Orang-orang yang berani mengambil resiko dan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya bukanlah mereka yang memiliki talent, melainkan mereka yang memiliki ‘passion’.

Orang-orang yang memiliki ‘passion’ tidak akan pernah kehabisan energi untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh antusias secara terus menerus.


3. Initiative activates your talent.

Setiap perjalanan selalu dimulai dari langkah awal, dan langkah awal itu dimulai dari sekarang. Seorang Talent-Plus tidak akan menunggu sesuatu menjadi sempurna terlebih dahulu untuk memulai sesuatu. Mereka akan selalu mengambil inisiatif, karena mereka tahu, rahasia seorang pemimpin adalah ‘moment of truth’.


4. Focus directs your talent

Talent tanpa fokus, diibaratkan oleh John C. Maxwell seperti gurita meluncur dengan menggunakan skate-board, banyak gerakan tetapi tidak terarah.

Fokus tidak terjadi dengan sendirinya, Anda harus menciptakannya, antara lain dengan cara; tidak membiarkan diri Anda terjebak pada masa lalu, fokus pada hasil yang ingin Anda capai, fokus pada kekuatan Anda dan tidak meratapi kelemahan Anda.


5. Preparation position your talent

Persiapan selalu memerlukan waktu lebih lama dari peristiwa itu sendiri. Itulah sebabnya seringkali orang mengabaikan persiapan dengan alasan memakan waktu. Tetapi jangan salah, seorang musisi hebat sekalipun, perlu melakukan persiapan dengan berlatih berjam-jam hanya untuk pertunjukan sepanjang 3 menit.


6. Practice sharpens your talent

Practice make perfect, klise kedengarannya, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Orang sukses menghargai latihan dan disiplin melakukannya.


7. Perseverance sustain your talent

Ketekunan/ kegigihan bukanlah soal waktu, melainkan soal bagaimana menyelesaikan sesuatu.


8. Courage test your talent

Keberanian bukan hanya dilihat pada saat menghadapi kondisi bahaya atau tertekan, namun lebih daripada itu, keberanian adalah tindakan berharga yang kita lakukan setiap hari. Anda tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa keberanian. Keberanian bukan hanya perkara tindakan, namun keberanian adalah juga tentang hati. Pada saat merasa berani dan melakukan tindakan, maka pada saat itulah hati kita akan diuji.


9. Teachability expands your talent

‘Teachability’ bukanlah bicara tentang kompetensi, melainkan ‘attitude’. Tentang kemauan untuk mendengarkan, kemauan untuk belajar hal baru, kemauan untuk menerapkan hal-hal yang telah dipelajari. Tidak diperlukan talent untuk belajar, namun seseorang yang memiliki talent tetapi tidak mau belajar adalah seorang yang sombong.


10.Character protects your talent

Apakah karakter itu? Bila Anda menanyakannya kepada 12 orang tentang definisi karakter, maka Anda akan memperoleh 12 jawaban yang berbeda. John C. Well menyimpulkannya menjadi 4 karakteristik, yaitu self-discipline, core value, a sense of identity dan integrity.


11.Relationship influence your talent

Hal yang paling berpengaruh terhadap talent Anda adalah orang-orang di sekitar Anda yang menjalin hubungan dengan Anda. Oleh karenanya jalinlah hubungan dengan orang-orang yang akan memberikan nilai tambah bagi Anda dan mendukung Anda. Orang-orang seperti ini akan mengarahkan talent Anda ke arah yang positif. Dan berlaku sebaliknya.


12.Responsibility strengthens your talent

Responsibility (tanggung jawab) akan menaikkan derajat talent Anda ke tingkatan yang lebih tinggi. John C. Maxwell sudah memperkirakan bahwa pilihan responsibility ini akan menjadi pilihan terakhir bagi seorang talent. Dan bila hal ini terjadi, maka talent tersebut akan menjadi seorang talent yang rapuh, yang tidak pernah menyadari potensinya.

Jadi, bila sukses yang Anda inginkan, maka jadikan responsibility sebagai pilihan Anda dalam memperkuat talent Anda. Belajarlah bertanggung jawab, mulailah dari dimana Anda berada saat ini.


13.Teamwork multiples your talent

Seberapapun hebat talent Anda, Anda pasti memiliki kelemahan. Ada hal tertentu yang tidak dapat Anda lakukan dengan baik. Dan bila hal ini terjadi, maka cara terbaik untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah meminta bantuan rekan Anda yang memiliki kekuatan di area kelemahan Anda tersebut.

Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang besar, maka lakukanlah dalam team.


Sebagai penutup John C. Maxwell menyatakan, “Talent apapun yang Anda miliki, pastilah dapat dikembangkan. Dan, pilihan yang Anda tentukan, pada akhirnya akan menentukan hidup Anda.”


"The key choices you make will set you apart from others who have talent alone" --Peter Drucker--