DISKON
Masih ingat gambar “My way, Your way, Our way”?
Sebelumnya saya pernah uraikan tentang perbedaan persepsi yang dapat mengakibatkan interaksi yang tidak produktif dan akhirnya terjadi ‘diskon’.
Apa yang terpikir oleh Anda kalau mendengar kata diskon (discount)?
Harga Turun? Murah? Tidak berharga? Obral? Kualitas jelek? Sudah tidak trend/ ketinggalan jaman? Cuci gudang? Barang sisa? Barang tidak laku? Remeh?
Apa yang kita rasakan bila seseorang mengatakan kepada kita, “Susah ya ngomong sama kamu, sudah dijelaskan berkali-kali tidak mengerti juga.”
Marah? Kesal? Mungkin saja, karena kita merasa direndahkan. Artinya kita di-‘diskon’.
Perasaan yang demikian itulah yang juga dirasakan oleh lawan bicara kita saat kita men’diskon’ mereka dengan kata-kata ataupun perilaku-perilaku yang kita perlihatkan kepada mereka.
Diskon dapat timbul dalam berbagai bentuk. Sikap men-diskon berarti kurangnya perhatian atau adanya perhatian negatif yang melukai kita atau orang lain secara fisik atau emosional. Sarkasme, kekasaran, ketidaksabaran, keluhan, menjelaskan secara berlebihan dan menggunakan istilah-istilah yang tidak dimengerti oleh lawan bicara, merupakan bentuk-bentuk diskon terhadap orang lain.
Kita pun dapat mendiskon diri kita sendiri atau kemampuan kita, dengan merendahkan diri sendiri, merendahkan kemampuan diri sendiri dan menghindari tanggung jawab atas perasaan kita.
Mungkin, tanpa kita sadari seringkali kita mengatakan, “Bodoh sekali saya ini” atau “Saya tidak mampu melakukannya.” itu artinya kita sedang mendiskon diri kita atau kemampuan kita sendiri. Atau pernah tidak kita mengatakan, “Gara-gara kamu, saya jadi marah-marah begini.” bila ya, artinya kita menghindari tanggung jawab atas perasaan kita sendiri, dan menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya munculnya perasaan kita.
Kalau kita marah, maka bukan karena orang lain, karena bukan mereka yang membuat kita marah, melainkan perasaan dan cara kita merespon situasi yang menentukan apakah kita akan marah atau tidak.
Oleh karenanya, hindari diskon. Diskon dapat mengakibatkan perasaan buruk atau perasaan tidak dihargai.
Mengambil tanggung pribadi terhadap suatu masalah dan memilih respon yang sesuai atas suatu kondisi dan situasi akan menghasilkan interaksi yang produktif dan menghindarkan kita dari mendiskon orang lain dan diri sendiri.
Tuesday, April 6, 2010
“MY WAY, YOUR WAY, OUR WAY”
“MY WAY, YOUR WAY, OUR WAY”
Apakah Anda termasuk orang yang percaya tafsir mimpi?
Bukan! Saya bukan mau mengajak anda menafsirkan mimpi atau percaya mimpi.
Seorang teman (A) bercerita kepada saya bahwa dia dimimpikan oleh temannya (B). Dalam mimpinya, si B mengatakan bahwa dia bermimpi buruk tentang A.
Sebagai seorang teman yang baik, saya mencoba menghibur A dengan mengatakan bahwa, biasanya, biasanya lho..... arti mimpi itu kebalikan dari mimpinya.... misalnya mimpi digigit ular berarti mau dapat jodoh, mimpi dipipisin bayi artinya akan dapat rejeki...... maaf, ini hanya contoh yang sering saya dengar....
Jadi, sekali lagi saya sampaikan ke A, bahwa kalau B mimpi buruk berarti akan terjadi sebaliknya. Bukan respon gembira yang saya dengar dari A, malah dia mengatakan, “Jangan sebaliknya dong..... aku ingin yang sebenarnya.” Lho!? Saya sekarang yang bingung. Bukannya tadi A bilang bahwa B mimpi buruk tapi kok malah ingin mimpinya terjadi.
Cerita punya cerita, ternyata mimpi si B adalah si A mendapat tawaran pekerjaan baru, dan dalam mimpinya B melihat A sedang menyelesaikan proses pengunduran dirinya, termasuk “exit interview” dengan bagian HR.
Menurut B, itu adalah mimpi buruk, karena B akan kehilangan teman karena pindah tempat kerja.
Menurut A, itu adalah mimpi baik, karena A mendapat kesempatan baru yang memang dia harapkan.
Oh, begitu ceritanya.
Mungkin itu yang dimaksud dengan perbedaan sudut pandang, atau lebih tepatnya cara pandang.
[Oh, satu lagi tentang kata “sudut” pandang ini, ada teman saya yang tidak setuju dengan istilah “sudut”, karena secara harfiah, sudut berkonotasi sempit atau kecil. Jadi kalau kita mengatakan sudut pandang, berarti dari pandangan yang sempit. Ini menurut pendapat teman saya.]
Perbedaan cara pandang seringkali memberikan kesimpulan yang bertentangan dan bila terjadi berkelanjutan dapat menimbulkan perselisihan.
(Contoh kecil saja, dari gambar di atas, apa yang Anda lihat? Apakah Anda melihat gambar 'wajah' atau tulisan 'Liar'? atau mungkin keduanya?)
Tentang cara pandang ini, saya mencoba membuat skema seperti berikut, yang kita sebut saja ”my way, your way, our way”
Dalam setiap situasi, ada “Menurut Saya” (area merah), “Menurut Anda” (area biru), dan “Menurut Kita” (area berarsir yang merupakan irisan merah dan biru). Situasi seperti ini dapat menimbulkan perbedaan persepsi.
Pada situasi yang sama, kita bisa memiliki cara pandang yang berbeda, yang mengakibatkan reaksi yang berbeda. Reaksi yang kita berikan berdasarkan pada nilai-nilai yang kita anut (seperti menafsirkan mimpi tadi). Masing-masing dari kita memiliki kerangka acuan yang berbeda untuk menyerap apa yang terjadi di sekitar kita.
Masing-masing dari kita menilai orang lain berdasarkan apa yang kita anggap baik, benar atau normal. Penilaian-penilaian ini berasal dari serangkaian peraturan yang bisa berasal dari keluarga, budaya atau pengalaman kita. Perbedaan penilaian dan peraturan yang dianut dapat menimbulkan pertentangan serta prasangka.
Kembali pada gambar di atas, bila kedua belah pihak berinteraksi dengan mempertahankan persepsi masing-masing, “Menurut Saya” atau “Menurut Anda” maka interaksi yang terjadi tidak produktif. Interaksi yang tidak produktif apabila diteruskan akan membuat kedua belah pihak saling meremehkan atau dalam gambar terjadi diskon (tentang diskon ini akan saya jelaskan dalam artikel selanjutnya).
Interaksi produktif akan terjadi bila kedua belah pihak memiliki cara pandang yang sama, dalam gambar di atas adalah bagian berarsir. Artinya kedua belah pihak telah menemukan persepsi yang sama, memandang dengan cara yang sama dan meyakini nilai-nilai yang sama. Semakin besar area yang berarsir, berarti semakin persamaan persepsi yang ditemukan oleh kedua belah pihak, dan semakin produktif interaksi yang terjadi.
Pernahkah kita memiliki cara pandang yang berbeda dengan rekan atau mungkin pelanggan kita? Apa yang terjadi? Bagaimana cara menyelesaikannya?
Salah satunya adalah dengan melakukan komunikasi dua arah yang efektif sehingga mampu memperlebar persamaan persepsi dan nilai-nilai, dan menghasilkan interaksi yang produktif.
Perbedaan dalam persepsi tidak “benar” ataupun “salah”. Tanggapan kita dalam hati atau yang kita rasakan terhadap suatu situasi tidak jadi masalah, yang penting adalah bagaimana kita memilih respon kita sesuai dengan kondisi & situasi yang ada, perilaku yang memberikan hasil yang paling produktif pada saat kita berinteraksi dengan pihak lain.
Talent is Never Enough - John C. Maxwell
TALENT IS NEVER ENOUGH – John C. Maxwell
Ketika seseorang mencapai kesuksesan atau mencapai sesuatu yang hebat, maka seringkali orang lain akan mengatakan bahwa kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ‘talent’.
Pemahaman yang demikian ternyata keliru. Bila ‘talent’ saja sudah cukup untuk membuat seseorang mencapai kesuksesan, mengapa masih banyak kita temukan orang-orang yang memiliki ‘talent’ tetapi tidak cukup sukses?
(note : untuk menghindarkan perbedaan pemahaman makna, maka beberapa kata-kata dalam bahasa Inggris akan digunakan sebagaimana adanya).
Dalam bahasannya, buku ini bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu secara individu dan secara organisasi. Sebagai individu, saat membaca buku ini, Anda akan menemukan banyak insight yang mampu menginspirasi Anda. Dan bila Anda membacanya dalam kapasitas organisasi, maka Anda akan menemukan cara yang lebih efektif dalam mengelola orang-orang yang memiliki talent dalam organisasi Anda.
Membaca bagian pertama dari buku ini yang bertajuk “When Talent alone is Enough?”, seakan memberikan gambaran kontradiktif akan suatu makna ‘talent’ yang selama ini kita pahami. John C. Maxwell menyadari akan hal itu, oleh karenanya dia nyatakan sejak awal bahwa buku ini tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari ‘talent’ itu sendiri, karena menurutnya, ‘talent’ adalah anugerah Tuhan yang wajib disyukuri.
John C. Maxwell memberikan 13 pilihan bagaimana memaksimalkan talent seseorang, yaitu :
1. Belief lifts your talent
2. Passion energizes your talent
3. Initiative activate your talent
4. Focus directs your talent
5. Preparation position your talent
6. Practice sharpens your talent
7. Perseverance sustain your talent
8. Courage test your talent
9. Teachability expands your talent
10.Character protects your talent
11.Relationship influence your talent
12.Responsibility strengthens your talent
13.Teamwork multiples your talent
Bila Anda melakukan ke-13 kunci tersebut, maka Anda akan menjadi seseorang yang memiliki “Talent-Plus”. Dan dengan “Talent-Plus” Anda akan menjadi seorang yang berada di atas rata-rata, demikian pernyataan John C. Maxwell.
Dan 3 hal yang diyakini John C. Maxwell adalah bahwa :
1. Setiap orang memiliki talent.
‘Carilah kekuatan Anda dan jadikanlah itu yang terbaik dari diri Anda’.(“Now, discover your Strength” oleh Marcus B. & Donald D. Clifton),
2. Kembangkan talent yang Anda miliki bukan yang Anda inginkan.
Berhentilah bekerja pada kelemahan Anda, mulailah dari kekuatan Anda.
3. Setiap orang dapat memilih apa yang memberikan nilai tambah bagi talent nya. Dan hasil apapun yang diperoleh berasal dari pilihan yang diambilnya.
Secara singkat ke 13 pilihan yang ditawarkan oleh John W. Maxwell adalah sebagai berikut :
Hambatan utama untuk sukses adalah ketidakyakinan pada diri sendiri. Mereka yang tidak sukses, bukan karena tidak memiliki talent tetapi karena mereka tidak yakin pada kemampuan diri mereka. Bila Anda ingin menjadi yang terbaik, maka Anda harus percaya akan hal terbaik yang ada dalam diri Anda.
Orang-orang yang berani mengambil resiko dan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya bukanlah mereka yang memiliki talent, melainkan mereka yang memiliki ‘passion’.
Orang-orang yang memiliki ‘passion’ tidak akan pernah kehabisan energi untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh antusias secara terus menerus.
Setiap perjalanan selalu dimulai dari langkah awal, dan langkah awal itu dimulai dari sekarang. Seorang Talent-Plus tidak akan menunggu sesuatu menjadi sempurna terlebih dahulu untuk memulai sesuatu. Mereka akan selalu mengambil inisiatif, karena mereka tahu, rahasia seorang pemimpin adalah ‘moment of truth’.
Talent tanpa fokus, diibaratkan oleh John C. Maxwell seperti gurita meluncur dengan menggunakan skate-board, banyak gerakan tetapi tidak terarah.
Fokus tidak terjadi dengan sendirinya, Anda harus menciptakannya, antara lain dengan cara; tidak membiarkan diri Anda terjebak pada masa lalu, fokus pada hasil yang ingin Anda capai, fokus pada kekuatan Anda dan tidak meratapi kelemahan Anda.
Persiapan selalu memerlukan waktu lebih lama dari peristiwa itu sendiri. Itulah sebabnya seringkali orang mengabaikan persiapan dengan alasan memakan waktu. Tetapi jangan salah, seorang musisi hebat sekalipun, perlu melakukan persiapan dengan berlatih berjam-jam hanya untuk pertunjukan sepanjang 3 menit.
Practice make perfect, klise kedengarannya, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Orang sukses menghargai latihan dan disiplin melakukannya.
Ketekunan/ kegigihan bukanlah soal waktu, melainkan soal bagaimana menyelesaikan sesuatu.
Keberanian bukan hanya dilihat pada saat menghadapi kondisi bahaya atau tertekan, namun lebih daripada itu, keberanian adalah tindakan berharga yang kita lakukan setiap hari. Anda tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa keberanian. Keberanian bukan hanya perkara tindakan, namun keberanian adalah juga tentang hati. Pada saat merasa berani dan melakukan tindakan, maka pada saat itulah hati kita akan diuji.
‘Teachability’ bukanlah bicara tentang kompetensi, melainkan ‘attitude’. Tentang kemauan untuk mendengarkan, kemauan untuk belajar hal baru, kemauan untuk menerapkan hal-hal yang telah dipelajari. Tidak diperlukan talent untuk belajar, namun seseorang yang memiliki talent tetapi tidak mau belajar adalah seorang yang sombong.
Apakah karakter itu? Bila Anda menanyakannya kepada 12 orang tentang definisi karakter, maka Anda akan memperoleh 12 jawaban yang berbeda. John C. Well menyimpulkannya menjadi 4 karakteristik, yaitu self-discipline, core value, a sense of identity dan integrity.
Hal yang paling berpengaruh terhadap talent Anda adalah orang-orang di sekitar Anda yang menjalin hubungan dengan Anda. Oleh karenanya jalinlah hubungan dengan orang-orang yang akan memberikan nilai tambah bagi Anda dan mendukung Anda. Orang-orang seperti ini akan mengarahkan talent Anda ke arah yang positif. Dan berlaku sebaliknya.
Responsibility (tanggung jawab) akan menaikkan derajat talent Anda ke tingkatan yang lebih tinggi. John C. Maxwell sudah memperkirakan bahwa pilihan responsibility ini akan menjadi pilihan terakhir bagi seorang talent. Dan bila hal ini terjadi, maka talent tersebut akan menjadi seorang talent yang rapuh, yang tidak pernah menyadari potensinya.
Jadi, bila sukses yang Anda inginkan, maka jadikan responsibility sebagai pilihan Anda dalam memperkuat talent Anda. Belajarlah bertanggung jawab, mulailah dari dimana Anda berada saat ini.
Seberapapun hebat talent Anda, Anda pasti memiliki kelemahan. Ada hal tertentu yang tidak dapat Anda lakukan dengan baik. Dan bila hal ini terjadi, maka cara terbaik untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah meminta bantuan rekan Anda yang memiliki kekuatan di area kelemahan Anda tersebut.
Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang besar, maka lakukanlah dalam team.
Sebagai penutup John C. Maxwell menyatakan, “Talent apapun yang Anda miliki, pastilah dapat dikembangkan. Dan, pilihan yang Anda tentukan, pada akhirnya akan menentukan hidup Anda.”
“The toughest thing about success is that you’ve got to keep on being a success. Talent is only a starting point in business. You’ve got to keep working that talent.” –Irving Berlin--
Ketika seseorang mencapai kesuksesan atau mencapai sesuatu yang hebat, maka seringkali orang lain akan mengatakan bahwa kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ‘talent’.
Pemahaman yang demikian ternyata keliru. Bila ‘talent’ saja sudah cukup untuk membuat seseorang mencapai kesuksesan, mengapa masih banyak kita temukan orang-orang yang memiliki ‘talent’ tetapi tidak cukup sukses?
(note : untuk menghindarkan perbedaan pemahaman makna, maka beberapa kata-kata dalam bahasa Inggris akan digunakan sebagaimana adanya).
Dalam bahasannya, buku ini bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu secara individu dan secara organisasi. Sebagai individu, saat membaca buku ini, Anda akan menemukan banyak insight yang mampu menginspirasi Anda. Dan bila Anda membacanya dalam kapasitas organisasi, maka Anda akan menemukan cara yang lebih efektif dalam mengelola orang-orang yang memiliki talent dalam organisasi Anda.
Membaca bagian pertama dari buku ini yang bertajuk “When Talent alone is Enough?”, seakan memberikan gambaran kontradiktif akan suatu makna ‘talent’ yang selama ini kita pahami. John C. Maxwell menyadari akan hal itu, oleh karenanya dia nyatakan sejak awal bahwa buku ini tidak bermaksud mengecilkan arti penting dari ‘talent’ itu sendiri, karena menurutnya, ‘talent’ adalah anugerah Tuhan yang wajib disyukuri.
John C. Maxwell memberikan 13 pilihan bagaimana memaksimalkan talent seseorang, yaitu :
1. Belief lifts your talent
2. Passion energizes your talent
3. Initiative activate your talent
4. Focus directs your talent
5. Preparation position your talent
6. Practice sharpens your talent
7. Perseverance sustain your talent
8. Courage test your talent
9. Teachability expands your talent
10.Character protects your talent
11.Relationship influence your talent
12.Responsibility strengthens your talent
13.Teamwork multiples your talent
Bila Anda melakukan ke-13 kunci tersebut, maka Anda akan menjadi seseorang yang memiliki “Talent-Plus”. Dan dengan “Talent-Plus” Anda akan menjadi seorang yang berada di atas rata-rata, demikian pernyataan John C. Maxwell.
Dan 3 hal yang diyakini John C. Maxwell adalah bahwa :
1. Setiap orang memiliki talent.
‘Carilah kekuatan Anda dan jadikanlah itu yang terbaik dari diri Anda’.(“Now, discover your Strength” oleh Marcus B. & Donald D. Clifton),
2. Kembangkan talent yang Anda miliki bukan yang Anda inginkan.
Berhentilah bekerja pada kelemahan Anda, mulailah dari kekuatan Anda.
3. Setiap orang dapat memilih apa yang memberikan nilai tambah bagi talent nya. Dan hasil apapun yang diperoleh berasal dari pilihan yang diambilnya.
Secara singkat ke 13 pilihan yang ditawarkan oleh John W. Maxwell adalah sebagai berikut :
1. Belief lifts your talent.
Hambatan utama untuk sukses adalah ketidakyakinan pada diri sendiri. Mereka yang tidak sukses, bukan karena tidak memiliki talent tetapi karena mereka tidak yakin pada kemampuan diri mereka. Bila Anda ingin menjadi yang terbaik, maka Anda harus percaya akan hal terbaik yang ada dalam diri Anda.
2. Passion energizes your talent.
Orang-orang yang berani mengambil resiko dan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya bukanlah mereka yang memiliki talent, melainkan mereka yang memiliki ‘passion’.
Orang-orang yang memiliki ‘passion’ tidak akan pernah kehabisan energi untuk melakukan segala sesuatu dengan penuh antusias secara terus menerus.
3. Initiative activates your talent.
Setiap perjalanan selalu dimulai dari langkah awal, dan langkah awal itu dimulai dari sekarang. Seorang Talent-Plus tidak akan menunggu sesuatu menjadi sempurna terlebih dahulu untuk memulai sesuatu. Mereka akan selalu mengambil inisiatif, karena mereka tahu, rahasia seorang pemimpin adalah ‘moment of truth’.
4. Focus directs your talent
Talent tanpa fokus, diibaratkan oleh John C. Maxwell seperti gurita meluncur dengan menggunakan skate-board, banyak gerakan tetapi tidak terarah.
Fokus tidak terjadi dengan sendirinya, Anda harus menciptakannya, antara lain dengan cara; tidak membiarkan diri Anda terjebak pada masa lalu, fokus pada hasil yang ingin Anda capai, fokus pada kekuatan Anda dan tidak meratapi kelemahan Anda.
5. Preparation position your talent
Persiapan selalu memerlukan waktu lebih lama dari peristiwa itu sendiri. Itulah sebabnya seringkali orang mengabaikan persiapan dengan alasan memakan waktu. Tetapi jangan salah, seorang musisi hebat sekalipun, perlu melakukan persiapan dengan berlatih berjam-jam hanya untuk pertunjukan sepanjang 3 menit.
6. Practice sharpens your talent
Practice make perfect, klise kedengarannya, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Orang sukses menghargai latihan dan disiplin melakukannya.
7. Perseverance sustain your talent
Ketekunan/ kegigihan bukanlah soal waktu, melainkan soal bagaimana menyelesaikan sesuatu.
8. Courage test your talent
Keberanian bukan hanya dilihat pada saat menghadapi kondisi bahaya atau tertekan, namun lebih daripada itu, keberanian adalah tindakan berharga yang kita lakukan setiap hari. Anda tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga tanpa keberanian. Keberanian bukan hanya perkara tindakan, namun keberanian adalah juga tentang hati. Pada saat merasa berani dan melakukan tindakan, maka pada saat itulah hati kita akan diuji.
9. Teachability expands your talent
‘Teachability’ bukanlah bicara tentang kompetensi, melainkan ‘attitude’. Tentang kemauan untuk mendengarkan, kemauan untuk belajar hal baru, kemauan untuk menerapkan hal-hal yang telah dipelajari. Tidak diperlukan talent untuk belajar, namun seseorang yang memiliki talent tetapi tidak mau belajar adalah seorang yang sombong.
10.Character protects your talent
Apakah karakter itu? Bila Anda menanyakannya kepada 12 orang tentang definisi karakter, maka Anda akan memperoleh 12 jawaban yang berbeda. John C. Well menyimpulkannya menjadi 4 karakteristik, yaitu self-discipline, core value, a sense of identity dan integrity.
11.Relationship influence your talent
Hal yang paling berpengaruh terhadap talent Anda adalah orang-orang di sekitar Anda yang menjalin hubungan dengan Anda. Oleh karenanya jalinlah hubungan dengan orang-orang yang akan memberikan nilai tambah bagi Anda dan mendukung Anda. Orang-orang seperti ini akan mengarahkan talent Anda ke arah yang positif. Dan berlaku sebaliknya.
12.Responsibility strengthens your talent
Responsibility (tanggung jawab) akan menaikkan derajat talent Anda ke tingkatan yang lebih tinggi. John C. Maxwell sudah memperkirakan bahwa pilihan responsibility ini akan menjadi pilihan terakhir bagi seorang talent. Dan bila hal ini terjadi, maka talent tersebut akan menjadi seorang talent yang rapuh, yang tidak pernah menyadari potensinya.
Jadi, bila sukses yang Anda inginkan, maka jadikan responsibility sebagai pilihan Anda dalam memperkuat talent Anda. Belajarlah bertanggung jawab, mulailah dari dimana Anda berada saat ini.
13.Teamwork multiples your talent
Seberapapun hebat talent Anda, Anda pasti memiliki kelemahan. Ada hal tertentu yang tidak dapat Anda lakukan dengan baik. Dan bila hal ini terjadi, maka cara terbaik untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah meminta bantuan rekan Anda yang memiliki kekuatan di area kelemahan Anda tersebut.
Jika Anda ingin melakukan sesuatu yang besar, maka lakukanlah dalam team.
Sebagai penutup John C. Maxwell menyatakan, “Talent apapun yang Anda miliki, pastilah dapat dikembangkan. Dan, pilihan yang Anda tentukan, pada akhirnya akan menentukan hidup Anda.”
"The key choices you make will set you apart from others who have talent alone" --Peter Drucker--
Monday, April 5, 2010
IMPROVEMENT 7 - Berpikir Proaktif
IMPROVEMENT 7 - Berpikir Proaktif
Berpikir proaktif berarti....
- melihat masalah secara keseluruhan.
- menemukan akar masalah dan mengambil tindakan perbaikan secara permanen bukan tindakan perbaikan sementara
Dikisahkan 4 orang berkebangsaan Amerika, Eropa, Jepang dan Indonesia sedang terlibat dalam sebuah pertemuan bisnis.
Mereka menaruh perhatian pada musim hujan yang sedang terjadi di Indonesia dan dampaknya bisa jadi sangat individual. Hal yang paling sering terjadi bila hujan tiba adalah ‘rumah bocor’. Salah seorang dari mereka membuka perbincangan dengan menanyakan, “Bila atap rumah Anda bocor, apa yang akan Anda lakukan?
Orang Pertama (dari Amerika) dengan yakin menjawab, "Saya akan langsung mengganti gentengnya, karena biasanya atap rumah bocor karena genteng yang pecah".
Orang Kedua (dari Eropa) tak mau kalah dengan sigap menjawab, "Saya akan lihat blue-print bangunan rumah, lalu mencari kemungkinan penyebab, mendiskusikannya dengan orang yang berwenang dan berkepentingan, bila dapat persetujuan, baru saya perbaiki/ganti apa yang harus diperbaiki/diganti."
Orang Ketiga dari (Jepang) pun menjawab, "Saya akan periksa tempat kebocoran, telusuri asal kebocoran tersebut, bila perlu saya akan naik ke atap untuk memeriksa apa sebenarnya yang menyebabkan kebocoran, baru kemudian saya putuskan apa yang harus saya lakukan."
Orang Keempat (dari Indonesia) menjawab dengan singkat, "Saya ambil ember lalu meletakkannya dibawah tepat di tempat yang bocor, selesai!"
Terbayang kan, dari cerita di atas, apakah mereka menyelesaikan masalah sampai ke akar masalah dan mengambil tindakan perbaikan secara permanen, atau hanya melakukan tindakan perbaikan sementara/ per kejadian.
Mari kita tilik satu-persatu jawaban mereka.
Menilik solusi yang dilakukan orang Pertama, menggambarkan kondisi kita yang selalu terpaku pada "biasanya". Kalau terjadi seperti "ini" biasanya penyebabnya "itu". Pemikiran seperti ini akan menghalangi kita untuk berpikir kreatif dan proaktif. Menyelesaikan permasalahan yang sama dengan cara yang sama bukannya tidak boleh akan tetapi bila masalah terus berulang berati pengulangan solusinya pun tidak efektif karena tidak mampu memberikan perubahan hasil yang signifikan.
Lalu, bagaimana dengan jawaban orang Kedua? Menyelesaikan masalah tidak cukup hanya berbekal data "di atas kertas". Melihat langsung ke asal timbulnya masalah (bila memungkinkan) akan memberikan data lebih akurat tentang apa sebenarnya yang terjadi. Birokrasi boleh saja, akan tetapi bila ada jalan yang lebih efektif, maka untuk beberapa kasus, pengambilan keputusan dapat didelegasikan dan menjadi wewenang pihak yang terkait langsung. Tindakan pendelegasian ini sekaligus melatih kemampuan pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap suatu proses dan memberdayakannya (empower).
Beda lagi kan dengan jawaban orang Ketiga. Mencari akar masalah adalah cara terbaik sebelum menetapkan solusi. Cara ini yang sebaiknya kita jadikan acuan dalam penyelesaian masalah, cari dulu akarnya, tentukan mana yang merupakan akar masalah yang paling berpengaruh, (ingat Prinsip Pareto) kembangkan tindakan perbaikan yang secara permanen dipastikan mampu menghilangkan masalah bukan sekedar menyelesaikan masalah pada saat itu, namun terulang lagi di masa yang akan datang.
Yang harus dilakukan adalah tindakan Corrective bukan Correction.
CORRECTION : memperbaiki ”masalah” sehingga masalah yang terjadi saat ini dapat terselesaikan.
CORRECTIVE : memperbaiki ”akar masalah” sehingga tidak muncul lagi masalah yang sama di masa yang akan datang
Gambaran sederhananya seperti ini :
Setiap kali anda masuk ruangan dengan memakai sepatu atau sandal, maka lantai ruangan tersebut menjadi kotor. Bagaimana menjaganya agar tetap bersih?
CORRECTION :
bila lantai kotor maka disapu/ di-pel sehingga kotoran hilang dan lantai tetap bersih.
>> artinya Anda akan terus-menerus melakukan kegiatan menyapu/ mengepel untuk menjaga lantai tetap bersih, karena setiap kali orang masuk ke ruangan tersebut pasti membuat lantai menjadi kotor, dan Anda akan menyapu/ mengepel lantai ruangan tersebut untuk membuatnya menjadi bersih kembali.
CORRECTIVE :
- sediakan keset; sebelum masuk ruangan orang harus keset terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel di sepatu/ sandal atau
- buat aturan untuk melepas sepatu/ sandal sebelum masuk ruangan.
>> artinya, dengan melakukan satu tindakan yang tepat –menyediakan keset/aturan melepas sepatu/sandal-- menghindarkan Anda melakukan kegiatan perbaikan secara berulang-ulang.
[mungkin itu sebabnya, yang tersedia adalah correction pen (baca : tip-ex), bukan corrective pen;
karena pena tersebut hanya berfungsi untuk memperbaiki kesalahan tulis (koreksi), bukan mencegah terjadinya salah tulis.]
Nah, untuk jawaban orang Keempat (terakhir), saya akan tinggalkan untuk Anda komentarnya.
Silahkan….
(Apakah masih banyak ember (bahkan mungkin panci) bertebaran di rumah Anda bila rumah Anda bocor? Hanya Anda yang tahu jawabannya…… :)
NOTE : penggambaran asal negara peran di atas sama sekali bukan bermaksud melecehkan bangsa sendiri, namun karakteristik umum yang sering dijumpai adalah seperti itu adanya, meskipun saya yakin 100% tidak semua orang Indonesia demikian. Mohon maaf apabila memunculkan perbedaan penafsiran, sekali lagi saya yakin, Anda akan menanggapinya dengan bijak.:)
Berpikir proaktif berarti....
- melihat masalah secara keseluruhan.
- menemukan akar masalah dan mengambil tindakan perbaikan secara permanen bukan tindakan perbaikan sementara
The best way to have a good idea is to have lots of ideas -- Linus Pauling
Dikisahkan 4 orang berkebangsaan Amerika, Eropa, Jepang dan Indonesia sedang terlibat dalam sebuah pertemuan bisnis.
Mereka menaruh perhatian pada musim hujan yang sedang terjadi di Indonesia dan dampaknya bisa jadi sangat individual. Hal yang paling sering terjadi bila hujan tiba adalah ‘rumah bocor’. Salah seorang dari mereka membuka perbincangan dengan menanyakan, “Bila atap rumah Anda bocor, apa yang akan Anda lakukan?
Orang Pertama (dari Amerika) dengan yakin menjawab, "Saya akan langsung mengganti gentengnya, karena biasanya atap rumah bocor karena genteng yang pecah".
Orang Kedua (dari Eropa) tak mau kalah dengan sigap menjawab, "Saya akan lihat blue-print bangunan rumah, lalu mencari kemungkinan penyebab, mendiskusikannya dengan orang yang berwenang dan berkepentingan, bila dapat persetujuan, baru saya perbaiki/ganti apa yang harus diperbaiki/diganti."
Orang Ketiga dari (Jepang) pun menjawab, "Saya akan periksa tempat kebocoran, telusuri asal kebocoran tersebut, bila perlu saya akan naik ke atap untuk memeriksa apa sebenarnya yang menyebabkan kebocoran, baru kemudian saya putuskan apa yang harus saya lakukan."
Orang Keempat (dari Indonesia) menjawab dengan singkat, "Saya ambil ember lalu meletakkannya dibawah tepat di tempat yang bocor, selesai!"
Terbayang kan, dari cerita di atas, apakah mereka menyelesaikan masalah sampai ke akar masalah dan mengambil tindakan perbaikan secara permanen, atau hanya melakukan tindakan perbaikan sementara/ per kejadian.
Mari kita tilik satu-persatu jawaban mereka.
Menilik solusi yang dilakukan orang Pertama, menggambarkan kondisi kita yang selalu terpaku pada "biasanya". Kalau terjadi seperti "ini" biasanya penyebabnya "itu". Pemikiran seperti ini akan menghalangi kita untuk berpikir kreatif dan proaktif. Menyelesaikan permasalahan yang sama dengan cara yang sama bukannya tidak boleh akan tetapi bila masalah terus berulang berati pengulangan solusinya pun tidak efektif karena tidak mampu memberikan perubahan hasil yang signifikan.
Lalu, bagaimana dengan jawaban orang Kedua? Menyelesaikan masalah tidak cukup hanya berbekal data "di atas kertas". Melihat langsung ke asal timbulnya masalah (bila memungkinkan) akan memberikan data lebih akurat tentang apa sebenarnya yang terjadi. Birokrasi boleh saja, akan tetapi bila ada jalan yang lebih efektif, maka untuk beberapa kasus, pengambilan keputusan dapat didelegasikan dan menjadi wewenang pihak yang terkait langsung. Tindakan pendelegasian ini sekaligus melatih kemampuan pihak yang bertanggung jawab langsung terhadap suatu proses dan memberdayakannya (empower).
Beda lagi kan dengan jawaban orang Ketiga. Mencari akar masalah adalah cara terbaik sebelum menetapkan solusi. Cara ini yang sebaiknya kita jadikan acuan dalam penyelesaian masalah, cari dulu akarnya, tentukan mana yang merupakan akar masalah yang paling berpengaruh, (ingat Prinsip Pareto) kembangkan tindakan perbaikan yang secara permanen dipastikan mampu menghilangkan masalah bukan sekedar menyelesaikan masalah pada saat itu, namun terulang lagi di masa yang akan datang.
Yang harus dilakukan adalah tindakan Corrective bukan Correction.
CORRECTION : memperbaiki ”masalah” sehingga masalah yang terjadi saat ini dapat terselesaikan.
CORRECTIVE : memperbaiki ”akar masalah” sehingga tidak muncul lagi masalah yang sama di masa yang akan datang
Gambaran sederhananya seperti ini :
Setiap kali anda masuk ruangan dengan memakai sepatu atau sandal, maka lantai ruangan tersebut menjadi kotor. Bagaimana menjaganya agar tetap bersih?
CORRECTION :
bila lantai kotor maka disapu/ di-pel sehingga kotoran hilang dan lantai tetap bersih.
>> artinya Anda akan terus-menerus melakukan kegiatan menyapu/ mengepel untuk menjaga lantai tetap bersih, karena setiap kali orang masuk ke ruangan tersebut pasti membuat lantai menjadi kotor, dan Anda akan menyapu/ mengepel lantai ruangan tersebut untuk membuatnya menjadi bersih kembali.
CORRECTIVE :
- sediakan keset; sebelum masuk ruangan orang harus keset terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel di sepatu/ sandal atau
- buat aturan untuk melepas sepatu/ sandal sebelum masuk ruangan.
>> artinya, dengan melakukan satu tindakan yang tepat –menyediakan keset/aturan melepas sepatu/sandal-- menghindarkan Anda melakukan kegiatan perbaikan secara berulang-ulang.
[mungkin itu sebabnya, yang tersedia adalah correction pen (baca : tip-ex), bukan corrective pen;
karena pena tersebut hanya berfungsi untuk memperbaiki kesalahan tulis (koreksi), bukan mencegah terjadinya salah tulis.]
Nah, untuk jawaban orang Keempat (terakhir), saya akan tinggalkan untuk Anda komentarnya.
Silahkan….
(Apakah masih banyak ember (bahkan mungkin panci) bertebaran di rumah Anda bila rumah Anda bocor? Hanya Anda yang tahu jawabannya…… :)
NOTE : penggambaran asal negara peran di atas sama sekali bukan bermaksud melecehkan bangsa sendiri, namun karakteristik umum yang sering dijumpai adalah seperti itu adanya, meskipun saya yakin 100% tidak semua orang Indonesia demikian. Mohon maaf apabila memunculkan perbedaan penafsiran, sekali lagi saya yakin, Anda akan menanggapinya dengan bijak.:)
Subscribe to:
Posts (Atom)