Tuesday, June 15, 2010

I WANT TO BREAK FREE

I WANT TO BREAK FREE

(I want to break free, I want to break free)
I want to break free from your lies
You're so self satisfied I don't need you
I've want to break free
God knows, God knows I want to break free

Siapa yang tak kenal lagu ngetop keluaran kelompok music Queen ini?
Versi yang sering saya dengar dari lagu di atas adalah versi Queen (aslinya) dan versi kelompok band nasional, Dewa. Iramanya sama, ‘beat’, relatif kencang, cepat…… saya kurang tahu istilah dalam bahasa musiknya.
Bagi saya, saat mendengarkan lagu ini, berasa sekali semangat ‘kebebasan’ yang diinginkan. Menggelora, lantang, penuh semangat.
Tapi kali ini beda. Saya mendengar lagu ini di sebuah mall saat berjalan-jalan dengan suami, dengan irama yang berbeda, lebih lembut dan ‘slow’. Tak urung lagu yang irama aslinya cukup saya kenal ini mengundang komentar saya, yang saya tujukan kepada suami, “Kok lagunya jadi gitu ya? Padahal kan ‘I want to break free’.”

Yang saya ajak bicara tersenyum lalu menyahut pelan, “ingin ‘free’ kan tidak berarti harus teriak-teriak.”

Hmmm…bener juga ya…
Kebebasan kan tidak identik dengan suara keras, tidak identik dengan keramaian, tidak identik dengan teriaka, dan yang lebih penting, tidak identik dengan huru-hara.

Bukan apa-apa, setiap kali menonton berita di tv tentang demo, ternyata yang mereka (pendemo) inginkan adalah kebebasan. Kebebasan untuk memperoleh informasi-lah, kebebasan untuk berekspresi-lah, kebebasan untuk berbicara-lah, kebebasan untuk menggunakan hak-lah….dan kebebasan-kebebasan yang lain.
Tetapi mengapa harus dengan demonstrasi? Mengapa harus dengan teriak-teriak? Mengapa juga harus dengan merusak? (mudah-mudahn bukan karena mereka terinspirasi dengan lagu ini ya).
Apakah bicara kebebasan berarti harus dengan suara lantang? Tidak juga, coba simak satu lagu lain dari Indra Lesmana, isinya kurang lebih sama, tentang keinginan bebas, tetapi disampaikan dengan lebih lembut dan orang lain tetap memahami maksudnya …

Dan kuceritakan pada dunia
Tentang harapan dan angan-anganku
Aku ingin dapat bebas lepas
Aku ingin senantiasa merasa bahagia
Aku ingin dapat terbang jauh
Bila tiada yang peduli …..

Menurut saya, kebebasan itu, kita sendiri yang menentukan. Apakah kita merasa terbelenggu apakah kita merasa bebas, kita lah yang menentukan.
Tidak perlu teriak-teriak untuk meminta kebebasan, karena kebebasan itu kita yang punya. Orang lain mungkin bisa membelenggu raga kita, mengurung diri kita, tetapi mereka tidak dapat membatasi kebebasan berpikir kita, mereka tidak dapat mencegah ide-ide yang menggelembung di otak kita. Banyak cerita sejarah yang membuktikan fakta ini. Fakta bagaimana terkurung raga tidak berarti terkurung jiwa apalagi pikiran.

Masih ingat bagaimana tokoh-tokoh ternama membebaskan pikiran dan ide mereka pada saat fisik mereka terpenjara?

Ya! Seorang Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA -singkatan dari namanya- seorang sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik, pernah dipenjarakan awal tahun 1960an, tetapi tidak berhenti menulis dan berkarya. Bahkan selama di penjara beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan umat sampai saat ini. Pemenjaraan tubuhnya dalam sangkar besi tidak memenjarakan semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya dan terus berkarya. Beliau tetap bebas mencurahkan pikirannya.

Dan nama lain adalah Viktor Emil Frankl, seorang Ph.D., yang juga seorang neurolog dan psikiater Austria serta korban Holocaust*) yang selamat, menulis buku Man’s Search for Meaning, sebuah buku yang menceritakan tentang bagaimana menggunakan 'spiritual freedom' untuk mengubah ‘attitude’ dari tidak berarti menjadi memiliki arti. Dengan kebebasan berpikirnya Frankl mentransformasikan tragedi dirinya sebagai sebuah kemenangan, kesuksesan. Dan inilah yang membuat Frankl bertahan hidup meskipun sebenarnya dia juga berada di antrian ‘green mile’.

Jadi, cukuplah untuk tidak lagi menuntut kebebasan, karena pada dasarnya kita sudah bebas.

[tapi saya tetap menyukai lagu Queen ini sebagai sebuah lagu lho …]


*)Holocaust (dari bahasa Yunani: holokauston yang berarti "persembahan pengorbanan yang terbakar sepenuhnya") adalah genosida sistematis yang dilakukan Jerman Nazi terhadap berbagai kelompok etnis, keagamaan, bangsa, dan sekuler pada masa Perang Dunia II.

Salam,
Ira

1 comment:

Jumala said...

Perenungan yang bagus .....:)