Thursday, August 19, 2010

Ketika Pak Jalal Tidak Takut Miskin

KETIKA PAK JALAL TIDAK TAKUT MISKIN

Menyaksikan sinetron Para Pencari Tuhan 4 (PPT4) memang berbeda dengan sinetron yang lain. Setidaknya itu pendapat saya pribadi.
Sahur ditemani sinetron PPT4 cukup menghibur dan banyak insight.
Tokoh-tokohnya terkesan begitu nyata, bagaimana digambarkan seorang yang miskin tapi sombong seperti Azrul, seorang yang tidak berpengetahuan tetapi sok tahu yang digambarkan dalam sosok udin, seorang pemuka agama yang mencari ketenaran dibalik seruannya yang diperankan oleh Akri, orang-orang yang ingin kembali ke jalan yang benar namun banyak godaan yang dihadapi, seperti yang digambarkan oleh 3 anggota kelompok komedi Bajaj. Masih ada lagi, sosok bang Jack yang baik namun seringkali salah melangkah, sosok pengurus kampung yang seringkali menggunakan ‘kepengurusannya’ untuk kepentingan pribadi, serta tokoh pak Jalal, yang digambarkan sebagai orang kaya yang sebenarnya murah hati namun kadang ria’ dalam bersedekah.

Melihat tokoh-tokoh itu dimainkan, rasanya benar-benar ada bila kita kembalikan ke dunia nyata. Yang pasti, dalam sinetron ini tidak ditayangkan seorang yang sangat kaya raya, atau sebaliknya sangat miskin papa. Juga tidak ditayangkan seorang yang jahat, yang tertawa terbahak-bahak setelah melakukan kejahatan sebagaimana yang sering kita saksikan di sinetron pada umumnya, tidak ditayangkan pula seorang yang baik hati, suci tanpa pernah berbuat salah sedikit pun. Benar-benar hampir nyata. Setiap orang pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk. Tinggal bagaimana orang tersebut mengelola sisi buruknya mengarah menjadi kebaikan dan terus mempertahankan sisi baiknya.

Saya bukan bermaksud membuat resensi atau rekomendasi untuk menonton sinetron ini. Namun saya akan menyoroti salah satu episode yang menggambarkan bagaimana seorang Pak Jalal yang notabene adalah orang terkaya di kampung tersebut, berikhlas hati melepas semua kekayaannya demi terhindar dari fitnah duniawi, salah satunya adalah dengan melunasi hutang-hutangnya tanpa rasa khawatir bahwa hartanya akan tak bersisa bila hal itu dia lakukan dan akan jatuh miskin.

Digambarkan di sinetron tersebut bagaimana penolakan dari keluarga yang menganggap harta mereka adalah hak mereka, dan mereka takut jatuh miskin. Namun, tak sedikitpun ada keraguan dalam diri Pak Jalal untuk meneruskan niatnya. Tentunya dengan tetap berpikir rasional bahwa tanggung jawabnya terhadap keluarga tetap ada.
Diceritakan pula bagaimana proses pelunasan hutang-hutangnya dan Pak Jalal pun pulang berjalan kaki, karena mobilnya termasuk yang harus dia relakan. Sedihkan pak Jalal? Tidak.
Pada saat berjalan kaki pulang, dia pun bergumam, “Sudah lama saya tidak jalan kaki.” sambil terus berjalan pulang. (Seberapa sering kita berjalan kaki akhir-akhir ini?)

Mari kita bercermin,
Kalau kita di posisi Pak Jalal, akankah kita melakukan hal yang sama dengan apa yang dia lakukan?
Saya kok pesimis ya. Jangankan melunasi hutang-hutang, yang terjadi malah berhutang lagi dan lagi.
Coba kita tengok dompet kita, berapa kartu ‘hutang’ yang kita miliki, yang menjadi kebanggaan kita pada saat membuka dompet, karena kartu-kartu emas itu menyembul di sela-sela dompet kita, yang (menurut dunia konsumerisme) hal ini menunjukkan betapa ‘pentingnya’ kita di mata para pemberi hutang.
Bahkan begitu pentingnya kita, sampai-sampai produsen dompet pun menciptakan dompet khusus untuk menyimpan kartu-kartu itu sehingga dompet uang kita tidak ‘kegendutan’.

Coba tengok lagi di jalanan, berapa banyak mobil baru yang beredar, tidak hanya mobil ‘murah’ tetapi juga mobil mewah bertebaran, bahkan sehari setelah kita lihat iklannya di media, esoknya kita sudah bisa lihat para penggunanya di jalanan. Saya yakin, tidak semuanya membeli dengan cash, sebagian besar malah dengan cara berhutang (kredit). Apalagi dengan tersedianya ‘kemudahan’ untuk berhutang yang ditawarkan oleh para pemberi hutang.
(Bahkan seorang teman saya sampai mengeluh karena menerima pesan pendek yang masuk melalui ponselnya di tengah malam buta, yang ternyata hanya untuk menawarkan pinjaman. Sungguh luar biasa! Siang malam kita dikerumuni dengan berbagai tawaran yang terkadang mengaburkan mata dan hati kita.

Akan tetapi semua berpulang kepada kita, seberapa kuat kita menahan diri dari semua godaan itu. Seberapa sering kita menimbang fokus aktivitas kita antara untuk kepentingan dunia dan kepentingan ‘hari nanti’. Seberapa ikhlas kita melepas sebagian harta kita, baik yang memang diwajibkan maupun yang kita relakan tanpa takut miskin.

Banyak contoh yang bisa saya lihat seorang miskin yang sabar karena tak berharta, namun sulit saya temukan contoh seorang kaya yang bersabar akan hartanya.

(Semoga kita termasuk orang kaya yang sabar…amiiin…)


Salam,
Oktira Kirana

1 comment:

Hendri Ma'ruf said...

Amiin. Semoga kita bisa menjadi kaya, dan sekaligus sabar.