Thursday, February 25, 2010

Perbedaan adalah Penyeimbang

PERBEDAAN adalah PENYEIMBANG


Dengan tayangan televisi seperti sekarang ini, agak susah bagi orang tua untuk mengontrol anaknya menonton acara televisi, meskipun televisi jaman sekarang sudah dilengkapi dengan “parents guide atau control”. Namun, ternyata bukan alatnya saja yang harus mendukung sistem kontrol tetapi juga pola yang diterapkan oleh orang tua dalam kegiatan menonton televisi tersebut. Karena, kadang-kadang, orang tua pun punya keinginan sendiri yang tidak dapat ditawar. Akhirnya bisa jadi anak-anak kita ikut menikmati tontonan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang dewasa. Selama orang tua dengan bijak dapat membawa dan mengarahkan tontonan sebagai suatu pembelajaran sampai dengan batas-batas tertentu, maka hal ini mestinya tidak terlalu merisaukan.

Salah satu yang saya alami adalah saat menonton acara ‘Take him Out’ atau ‘Take me Out’. Dalam acara tersebut, seseorang dapat memilih atau dipilih sebagai pasangan. Sang pemilih biasanya telah melengkapi diri dengan data-data pasangan yang dia harapkan.

Terlepas dari kualitas tayangannya, acara tersebut ternyata memberikan ide positif kepada anak saya. Saya katakan positif karena di usianya yang baru 7 tahun, saya anggap dia sudah mampu menentukan dan menyusun kriteria persyaratan.

Setelah melewati beberapa sesi (dari 7 sesi yang ada), anak saya bertanya kepada saya, mengapa si A (laki-laki) mematikan lampu dan tidak mau dengan si X (perempuan). Saya katakan, karena si A memiliki persyaratan pasangan seperti apa yang dia inginkan. Si A ingin pasangan yang lemah lembut, mandiri, dan bla..bla...bla..... (saya ceritakan sekilas).

Nah, berawal dari sinilah, anak saya mengatakan bahwa dia juga memiliki syarat pasangan yang dia inginkan. Saya pikir hanya main-main dan pembicaraan ringan, saya respon pernyataannya dengan bertanya, “Memang Alif ingin pasangan yang seperti apa?” (saya terbiasa berkomunikasi secara terbuka dengan anak saya, sejak dia kecil).
Dengan polos anak saya menjawab, “Yang namanya berhuruf depan ‘A’,” Saya tersenyum mendengar jawabannya, karena mudah ditebak mengapa, karena namanya juga berawalan ‘A’. Saya pikir dia hanya mencari kesamaan saja. Perbincangan berlanjut, dan dengan bergaya seorang interviewer, saya bertanya apa syarat berikutnya dan mencatat jawabannya. Baru saya mencatat syarat no.1, anak saya memutuskan untuk menulis sendiri persyaratan yang dia tentukan.

Dan hasilnya adalah sebagai berikut, “Syarat jadi pasangan Alif” (benar-benar dia tuliskan sebagai judul) :
1. Namanya berhuruf depan “A”
2. Bulan lahirnya bulan Agustus
3. Suka warna putih
4. Suka makan buah
5. Orangnya smart
6. Rambutnya panjang
7. Harus rajin sholat
8. Orangnya tidak penakut dan pemalu
9. Tidak sombong
10. Pintar masak

Selama proses menyusun, saya dan Ayahnya menanggapi dengan tertawa-tawa saja karena kami menganggap ini adalah sebuah permainan.
Setelah persyaratan tersusun seperti tersebut di atas, rasa ingin tahu membuat saya menanyakan satu persatu lebih jauh alasan dibalik persyaratan-persyaratan tersebut kepada anak saya. Pertama, mengapa namanya harus berawalan huruf “A”, jawabnya tentu mudah ditebak, karena biar sama dengan namanya (Alif, berawalan “A”). Demikian juga dengan syarat kedua, supaya sama dengan bulan lahirnya.
Pertanyaan ketiga, Mengapa harus suka warna putih? “Karena aku suka warna merah, jadi dia (baca : calon pasangan) harus suka warna putih, jadinya merah-putih, serasi.” jawabnya.

Ups!
Saya pikir anak saya hanya akan menyusun daftar hal-hal yang sama dengan dirinya dalam mencari pasangan, ternyata, dia juga memikirkan tentang ‘keserasian’ atau ‘keseimbangan’.
Saya lanjutkan “interogasi” saya dengan syarat-syarat berikutnya.

Dan sampailah saya pada suatu kesimpulan, bahwa dari kesepuluh daftar di atas, ada persyaratan yang merepresentasikan adanya kesamaan (No.1, 2 dan 4), harapan (no. 5, 6, 7, 9, 10) dan perbedaan (no. 3 dan 8).

KESAMAAN, hal yang wajar, karena suatu pasangan atau mungkin suatu tim atau grup, terbentuk berawal dari mengetahui adanya kesamaan di antara mereka. Bahkan kalau ditanya mengapa mereka merasa cocok satu sama lain, maka jawaban klasiknya adalah karena mereka mempunyai kesamaan, entah itu hobi, kebiasaan, kesukaan ataupun ketidaksukaan, jadi kalau ‘ngobrol nyambung’ (bahasa ABG-nya begitu ya?)
Sering kita dengar ada club pecinta kereta api, club ‘bike to work’, club olah raga basket, club pengkoleksi album musik jazz, dan lain-lain. Mengapa club tersebut bisa terbentuk? Karena para anggotanya memiliki hobi yang sama, memiliki kesamaan.

HARAPAN. Tidak heran kalau daftar harapan lebih banyak dibanding yang lain. Namanya juga cita-cita dan harapan. Bahkan kalau daftarnya boleh dipanjangkan pasti masih banyak harapan-harapan lain yang akan muncul untuk mencoba mencari yang ideal seperti yang ada dalam bayangan kita. Meskipun jika ternyata ada satu-dua yang tidak dapat terpenuhi, kita toh masih bisa menerima orang lain sebagai pasangan kita, rekan kerja atau atasan kita (walaupun dalam beberapa kasus dikatakan, kita tidak dapat memilih atasan kita, tapi sebenarnya bisa!-kapan-kapan kita bahas lebih lanjut ya...)

PERBEDAAN. Mengapa harus ada ‘perbedaan’ dalam daftar persyaratan di atas? Seperti uraian saya sebelumnya, perbedaan dalam persyaratan di atas ternyata dimaksudkan sebagai “penyeimbang”.
Kalau kita suka warna merah dan pasangan kita suka warna merah, maka selesai urusan. Tidak perlu lagi kita berkomunikasi atau berdiskusi dengan pasangan kita karena pasti pasangan kita akan setuju dengan warna pilihan kita, yaitu merah.
Akan berbeda kondisinya kalau kita suka warna merah dan pasangan kita suka warna putih, maka sebelum kita memutuskan membeli atau membuat sesuatu untuk kepentingan bersama, kita akan berkomunikasi dan berdiskusi dengan pasangan kita, enaknya warna apa ya? Apakah merah garis-garis putih atau putih dengan latar belakang merah atau mungkin menjadi pink saja, campuran dari keduanya? Dan masih banyak lagi yang dapat kita diskusikan dengan pasangan kita, untuk menentukan warna pilihan “kita”.
Perbedaan membuka jalan menuju diskusi. Namun harus diingat, bahwa diskusi dilakukan dengan tetap mengelola emosi dan merespon secara positif untuk menghasilkan interaksi yang produktif.

Sepertinya tidak berbeda dengan dunia kerja. Biasanya kita akan merasa lebih ‘sreg’ untuk bekerja sama dengan rekan kerja, atasan atau tim yang memiliki kesamaan dengan kita, entah itu cara kerjanya, sifatnya, atau mungkin cara pandangnya. Namun dalam kenyataannya, rekan kerja atau bahkan atasan kita, tidak selalu punya kesamaan-kesamaan dengan kita.
Dan kita tidak dapat mengharapkan orang lain selalu memiliki kesamaan dengan kita, hanya supaya kita dapat bekerja sama atau merasa cocok dengan mereka. Perbedaan mestinya tidak dipandang sebagai suatu hambatan untuk berinteraksi dengan orang lain, melainkan merupakan materi untuk menuju interaksi yang lebih produktif. Memandang perbedaan sebagai penyeimbang, sebagai ide segar di luar kesamaan-kesamaan yang kita miliki akan memberi kita materi diskusi yang tak ada habisnya, karena masih bisa terus dikembangkan dan dikembangkan.

Kesamaan memudahkan kita untuk saling berinteraksi, dan perbedaan menjadikannya lebih bervarisi. (oktira)

No comments: